|
Foto : Google |
Assalamualaikum
sahabat sahabatku sekalian…
Semoga senantiasa berada dalam lindunganNya...
Tak terasa
sudah sebulan penuh kita menjalankan kewajiban sebagai umat muslim untuk berpuasa
ramadhan. Ya, berpuasa menahan
apa saja yang dilarang Allah dari terbitnya
fajar hingga terbenamnya matahari. Berpuasa untuk berkata yang menyakitkan
sesama, berpuasa untuk tidak berbuat hal-hal yang menjadikan orang lain merasa
tersinggung, dan berpuasa atau menahan untuk tidak mengeluh atas segala
kewajiban kita sebagai hamba yang tentunya adalah beribadah kepadaNya. Beribadah
dengan segala profesi dan posisi yang ada pada
setiap diri pribadi masing-masing. Baik yang
sedang kuliah, bekerja, maupun yang masih santri. Bahkan tak hanya menahan, kita harus melakukan hal-hal yang
baik dan diridhoi Allah serta menahan diri dari hawa nafsu yang senantiasa
mengajak kepada kemaksiatan dan dari hal-hal tak bermanfaat lainnya.
Setelah sebulan penuh berpuasa, kini tiba saatnya beralih bulan dari bulan
penuh ampunan, bulan penuh rahmat serta bulan di mana kebutuhan pokok harganya
meroket hingga mencekik kalangan ibu-ibu menengah ke bawah menuju yang namanya Bulan
Syawal, bulan kemenangan atau bulan banyak dijumpai jajanan. Hehehe... Banyak hal
menarik yang tentunya tak bisa dilewatkan begitu saja pada bulan ini. Terutama
tentang kerinduan dan tradisi pulang ke kampung halaman. Ada cerita dan kisah tersendiri bagi mereka yang mengalaminya.
Tradisi Mudik yang Unik
Indonesia dan orang-orangnya memang unik. Liburan saat
lebaran menjadi momen paling ditunggu-tunggu bagi masyarakat Indonesia dan siapa saja yang sedang berada di perantauan.
Rindu akan kampung halaman dan sanak saudara menjadi alasan setiap orang untuk pulang. Keinginan untuk
pulang, rindu akan kampung halaman dan bertemu dengan kerabat tentu selalu ada
pada setiap diri seseorang yang sedang berada di negeri orang. Momen saat
lebaran merupakan momen yang sangat tepat untuk pulang ke kampung halaman. Mengapa
demikian? Karena disamping bertepatan dengan hari libur nasional atau tanggal
merah, orang-orang yang tengah bekerja libur, yang sedang sekolah atau kuliah
pun libur. Sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia memilih momen itulah untuk
pulang ke kampung halaman. Selain itu, biasanya liburan saat lebaran waktunya
jauh lebih panjang dibandingkan hari-hari libur lainnya. Jika saat Hari Raya
Idul Fitri bisa sekitar 2 hingga 3 bulan (biasanya khusus yang kuliah) hehehe..
tentu berbeda lagi dengan yang bekerja atau yang sedang nyantri yang biasanya
lebih cepat masuknya.
Sedangkan jika hari libur selain Idul Fitri biasanya hanya beberapa hari
saja. Alasan inilah menjadi momen untuk saling bermaaf-maafan dengan kerabat
atau tetangga di kampung. Tradisi pulang di saat menjelang lebaran atau Hari
Raya Idul Fitri ini lazim disebut dengan istilah Mudik oleh masyarakat
Indonesia.
Pulang Malu Tak Pulang Rindu
Namun siapa sangka, di saat yang lain pulang dan liburan di saat lebaran,
masih saja ada sebagian orang yang merasa malu untuk kembali ke kampung halaman
meskipun hanya sekedar melihat kondisi keluarga dan lingkungan tempat
tinggalnya. Mereka sungguh dilema ketika ingin pulang ke kampung halamannya. Bila
pulang merasa malu namun jika tidak pulang hati rindu serasa dihantam palu,
sakit. Banyak alasan yang menjadi halangan mengapa mereka serasa berat
melangkahkan kaki untuk pulang. Salah satunya karena faktor kesuksesan ataupun
hasil yang tentunya akan ditanyakan keluarga atau tetangga. Entah itu soal
pekerjaan, pernikahan, perkuliahan, atau kekayaan selama di perantauan. Tentu
alasan tersebut menjadi beban mental sehingga seseorang merasa dilema akan
pulang atau tetap di perantauan saja.
Pertanyaan yang sering dilontarkan biasanya “Kapan nikah?”, “Kapan wisuda”,
“Kapan bawa calonnya?”, “Sudah dapat gaji berapa juta?” atau “Sudah membangun
rumah belum?” (entah itu rumah mewah atau rumah tangga). Ya mungkin kurang
lebih seperti itu pertanyaan yang sering ditanyakan para kerabat, sahabat atau
tetangga dekat. Tidak jauh-jauh dari kata “kapan” dan “sudah”. Mengapa saya
tahu? Mungkin karena sedikit berpengalaman dan memang pernah mengalami hal
semacam itu. Eh, malah curhat.. hehehe.
Mudik bikin Ribet dan Panik
Mudik biasanya sedikit membuat seseorang panik. Ya, urusan mudik tak
jauh-jauh dari soal transportasi dan tiket serta tetek bengek seperti
oleh-oleh khas daerah perantauan maupun barang-barang yang akan dibawa ke
kampung. Dimulai dari tiket yang harganya melonjak naik dari harga normal
terlebih jika terlalu mepet dengan lebaran hingga soal oleh-oleh tadi. Tiket bisa
naik hingga dua kali lipatnya harga normal. Baik itu transportasi bus, pesawat,
atau kereta api. Ini mungkin bagi mereka yang tidak mempunyai atau tidak naik
kendaraan pribadi. Lain ceritanya jika menggunakan kendaraan pribadi. Tentu sedikit
berbeda dengan mereka yang mudik dengan transportasi umum. Memang semua ada kelebihan
dan resikonya sendiri-sendiri. Silahkan sahabat pilih dan coba sendiri ya...
hehe.
Setelah persoalan tiket, oleh-oleh atau barang-barang yang akan dibawa pun
biasanya diperhitungkan. Akan membawa oleh-oleh khas apa dan berapa banyaknya
tentu dipikirkan beberapa hari sebelumnya. Hal ini akan berpengaruh pada saat
perjalanan, jika terlalu banyak barang yang dibawa tentu akan sangat
merepotkan. Terlebih bagi mereka yang menggunakan kendaraan umum. Oleh-oleh
yang dibawa itu nantinya akan dibagikan kepada saudara atau tetangga sekitar.
Inilah ciri khas masyarakat Indonesia yang tak hanya mementingkan diri pribadi,
namun juga mementingkan orang lain di kampung halaman. Karakter bangsa seperti
inilah yang seharusnya dilestarikan.
Setelah berangkat dan berada di perjalanan, jalanan macet, pengalihan
jalan, serta berjubelnya penumpang (terutama di terminal dan stasiun kereta
api) menjadi pemandangan yang sangat biasa bagi mereka yang selalu mudik
menggunakan kendaraan umum. Banyak pedagang asongan, penumpang, petugas, bahkan
pencopet pun berbaur menjadi satu dalam hiruk pikuknya suasana mudik. Tidak
jarang yang kecopetan dalam kereta api, terminal maupun stasiun. Penumpang lah
yang harusnya ekstra hati-hati menjaga barang bawaannya. Karena pencopet tidak
bisa disalahkan (sebelum disalahkan memang sudah sangat salah kok). Ini pula
menjadi pe-er bagi pihak yang berwenang dalam urusan per-mudikan. Hehehe... ya,
semoga saja masalah per-mudikan di Indonesia akan lebih baik lagi ke depannya.
Amiin...
Mungkin itu sedikit gambaran atau yang saya alami saat itu. Namun tentu sisi
baik atau positifnya ada. Masih banyak orang baik di sekitar pencopet itu tadi,
masih banyak yang tidak membuang sampah sembarangan, masih banyak yang mau
membantu saat di perjalanan, tak lupa pula masih banyak cewek cakep apalagi
jika mau senyum. Hehehe. Apalagi yang berkerudung. Sehingga membuat udara panas
dan polusi di jalanan adem serasa AC seketika. Weka weka. J
Silaturrohim yang Sangat Berkesan
Di dalam ajaran Islam, Silaturrohim atau menjalin persaudaraan antar ummat
islam sangatlah dianjurkan. Karena silaturrohim banyak manfaatnya, salah
satunya silaturrohim dapat melancarkan rezeki, mempererat tali persaudaraan,
menghilangkan permusuhan antar tetangga dan teman. Tak lupa pula agar
dimudahkan jodohnya. Eh, itu bukan hal utamanya. Tetapi mungkin bisa juga
diartikan sebagai rezeki tadi. Hehehe...
Biasanya kegiatan silaturrohim atau saling berkunjung di saat lebaran
dilakukan sesudah sholat Idul Fitri hingga beberapa hari di Bulan Syawal.
Setelah pulang dari sholat Ied, meminta maaf kepada ibu-bapak serta keluarga
terdekat terlebih dahulu baru kemudian berkunjung ke rumah-rumah tetangga di
kampung. Tradisi saling memaafkan di bulan syawal ini menjadi momen paling
tepat, karena saat itu banyak yang pulang ke kampung halaman.
Selain berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan teman serta melepas kerinduan
dengan suasana penuh kehangatan, tak lupa (bahkan setengah diwajibkan) untuk
mengunjungi guru-guru. Baik itu guru ngaji atau guru sekolah sewaktu kecil
dulu. Jangan dianggap sepele. Inilah yang menjadi lantaran lancarnya segala
sesuatu saat di perantauan. Karena memang do’a serta ridho para guru-guru kita
yang membuat semuanya menjadi mudah. Meskipun guru ngaji yang mengajar Iqro’ “abatasa”
atau guru sekolah yang sabar mengejakan “abesede” dulu sewaktu kita
masih kecil. Sekali lagi, jangan diremehkan. Justru dengan perantara
beliau-beliau itulah kita menjadi seperti saat ini.
Ketika berkunjung ke rumah guru sekolah dan ngaji sewaktu kecil dahulu tak
lupa untuk selalu meminta do’a restu dan nasehat-nasehat beliau. Inilah yang
akan menjadi pemacu semangat kita ketika kembali ke perantauan. Yang bekerja,
yang sekolah atau kuliah, maupun yang sudah menikah tentu akan sangat
membutuhkan nasehat-nasehat beliau. Karena sejatinya guru adalah orang tua ke
dua kita. Jika memang tidak mampu untuk berkunjung secara fisik, minimal kita
berdo’a untuk beliau-beliau supaya selalu diberi kesehatan dan kesabaran bagi
yang masih hidup dan yang sudah tiada pun selalu kita do’akan.
Memang benar
dan sangat tepat bila ‘guru’ diistilahkan dengan seseorang yang selalu ‘digugu’ dan ‘ditiru’
oleh murid-muridnya. Selama yang itu benar dan tidak melenceng dari yang telah digariskan agama. Selain para guru, simbah-simbah pun
memberikan kesan tersendiri jika kita berkunjung dan duduk, ngobrol bersama
mereka. Sesuai dengan namanya, “mbah” yang berarti ‘tambah’, selalu memberikan
tambahan bagi mereka yang berada di sekitarnya. Entah tambah berkah atau
tambahnya ilmu. Seperti halnya yang telah saya rasakan. Ketika berkunjung ke
rumah simbah atau orang yang dituakan, selalu saja mendapatkan hal-hal baru
yang belum pernah diketahui dan didengar. Itulah sisi lain dari yang namanya simbah.
Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal yaa kariim...
Semoga amal kita selalu diterima olehNya serta dimudahkan segala urusan.
Amiin...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bina Karya, 02 Syawal 1438 H
26 Juni 2017 M