Jika biasanya refleksi dibahas dan dibicarakan -ataupun ditulis- di akhir tahun, namun bagaimana jika sebuah refleksi -renungan- itu justru sudah dibicarakan di awal-awal tahun? Bahkan, ketika masih di awal hari-hari bulan pertama. Jika refleksi akhir tahun biasanya membahas mengenai pencapaian-pencapaian serta evaluasi kinerja sebuah lembaga, pemerintahan maupun hanya sebatas bahan renungan pribadi bagi diri sendiri, kini renungan dan refleksi tak butuh untuk dilakukan pada akhir tahun dan membicarakan soal pencapaian atau evaluasi. Justru malah jauh dari itu.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, hampir satu tahun kita dihadapkan cobaan berupa pandemi Covid-19. Cobaan yang melanda manusia di berbagai belahan dunia. Semua usia merasakan, segala aspek merasa menerima beban. Sudah tak terhitung lagi berapa korban yang disebabkan oleh makhluk kecil ciptaan Yang Maha Kuasa ini. Sudah berapa kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Sudah tak terhitung lagi kerugian para pedagang. Atau bahkan, sudah berapa kali diadakan acara yang membahas mengenai pandemi yang satu ini. Hingga, sudah berapa podcast yang hadir di beranda Youtube kita yang mencoba mengulik, mengupas dan mencoba mengurai benang kusut pandemi (-tentang birokrasi, konspirasi hingga mencari solusi).
Hampir satu tahun menahan derita pandemi. Ketika pandemi belum sepenuhnya beranjak pergi, kini kita sudah berada di awal tahun yang berbeda. Belum hilang bekas air mata kesedihan, kini di awal tahun kita disambut lagi dengan berbagai ujian dan cobaan dari Sang Maha Pemilik Semesta. Di akhir tahun lalu hingga di awal tahun ini, beberapa musibah mengiringi dan membersamai pandemi. Mulai dari di wafatkannya para ulama besar di negeri ini, bencana alam, korupsi pejabat negara di tengah masyarakat yang sedang kesusahan, hingga deretan bencana alam dan bencana transportasi pesawat terbang.
Deretan peristiwa itu seakan melengkapi deretan pilu berkepanjangan yang dialami negeri ini. Tak kurang dari 13 ulama besar telah diwafatkan Yang Maha Mematikan. Berikut ini daftar ulama besar yang wafat tersebut: Habib Ja’far bin Muhammad Al Kaff Kudus (1 Januari 2021), KHR Muhaimin Asnawi – PP Al Asnawi Magelang (1 Januari 2021), KHR Abdullah Nachrowi – PP Ash-Shogiri Bogor (2 Januari 2021), KHR Muhammad Najib Abdul Qodir Munawwir – PP Al Munawir Krapyak (4 Januari 2021), Drs. M.Sai MHI – PP Nurul Yakin Malaka (5 Januari 2021), KH Muhammad Nuruddin A.Rahman – PP Al Hikam Bangkalan (9 Januari 2021), Habib Abu Bakar bin Salim Al Hamid Bondowoso – (9 Januari 2021), KH.Zainuddin Badrus – PP Al Hikmah Kediri (10 Januari 2021), KH. A. Yasin Asmuni – PP Hidyatut Thullab (11 Januari 2021), Drs. H. Ibnu Hazen – LTMNU (12 Januari 2021), Syekh Ali Saleh Mohammed Ali Jaber (14 Januari 2021), Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (15 Januari 2021). Selain nama-nama beliau di atas, tentu juga masih banyak ulama yang tidak terberitakan di media massa.
Ke 13 ulama besar tersebut sudah tidak diragukan lagi keluasan ilmunya. Para tokoh pengayom masyarakat dan agama yang fatwa dan petuahnya selalu di nanti-nanti umat. Maka sangat wajar dan maklum jika sepeninggalan beliau-beliau ini masyarakat menjadi sangat bersedih hati. Bahkan, alam pun turut menunjukkan kesedihannya. Dibuktikan dengan gerimis yang menyertai setiap pemakaman para ulama dan kiai tersebut. Seakan alam pun ikut menangis. Tentu saja kematian adalah suatu keniscayaan bagi setiap yang bernyawa. Kull nafsin dzaiqatul mauut. Semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Namun, bukan itu yang membuat hati pilu dan kalut. Bukan tentang kematian setiap manusianya. Namun tentang siapa yang dikehendaki untuk segera bertemu denganNya. Mereka adalah para ulama pewaris para Nabi dan sebagai penerus risalah agama. Ilmupun dicabut dari muka bumi dengan cara diwafatkannya para pemilik ilmu itu. Inilah yang selayaknya menjadi kesedihan bersama. Ketika para ulama banyak yang sudah wafat sementara umat masih kebingungan mencari dan mengais ilmu yang tak kunjung paham.
Selain wafatnya para ulama dan kiai, baru-baru ini juga kita sedang dihadapkan dengan berbagai bencana yang mengawali tahun. Mulai dari gunung meletus, jatuhnya pesawat terbang jatuh, banjir, longsor, gempa bumi, puting beliung hingga hujan es yang merupakan fenomena langka di negeri tropis kita ini.
Rentetan peristiwa bencana alam di negeri tersebut mulai dari musibah banjir yang melanda Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Gempa di Majene Sulawesi Barat, Longsor di Sumedang Jawa Barat, banjir dan longsor di Gunung Emas Bogor, Erupsi Gunung Merapi dan Semeru, hingga jatuhnya pesawat terbang Sriwijaya SJ 182 dan yang terakhir ada peristiwa hujan es di Cianjur Jawa Barat. Memang, dari kacamata alam itu disebut dengan ‘fenomena alam’ atau ‘perjalanan alam’.
Namun, berbeda jika dilihat dari kacamata agama. Kejadian-kejadian alam bukan saja menjadi sebuah fenomena biasa. Lebih dari itu, sebagai manusia dan hambaNya, hendaknya menjadikan setiap kejadian sebagai ibrah atau pelajaran. Sebagai motivasi untuk semakin mendekat kepada Sang Pencipta. Juga sebagai bahan renungan bagi setiap diri manusia.
Sesungguhnya ada apa dengan semua semua rentetan peristiwa itu? Apakah alam murka? Bumi muak dengan segala tingkah laku manusia? Yang seenaknya mengeksploitasi alam sesuka mereka. Banjir yang disebabkan gundulnya hutan hanya dianggap sepele dengan ungkapan ‘karena curah hujan tinggi’. Miris. Belum lagi dengan murkanya deretan gunung berapi karena wilayah Indonesia berada di Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (bahasa Inggris: Ring of Fire). Yang tentu, itu semua hanya Allah yang tahu.
Di awal tahun 2021 ini, setidaknya sebagai manusia kita mampu merefleksikan atau merenungkan setiap kejadian agar lebih waspada. Karena ada sebuah pepatah Jawa mengatakan, "Sak bejo-bejone wong kang lali, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo” (seberuntung-beruntungnya orang lupa, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada). Wallahu a’lam.