BREAKING

Kamis, 13 April 2017

Filosofi kata "Cah Angon"



Bumi nusantara ini kaya akan kebudayaan dan adat istiadatnya. Bahkan penyebaran Agama Islam di bumi pertiwi ini pun tak terlepas dengan adanya budaya yang masih melekat erat pada masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Islam masuk ke bumi nusantara melalui akulturasi budaya yang telah ada. Budaya yang menyatu dengan ajaran dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamiin. Inilah yang dikembangkan dan diajarkan oleh para walisongo pada zaman dahulu. Namun, pembahasan mengenai Islam dan budaya nusantara sungguh luas. Maka tak mungkin saya menjelaskannya. Hal itu juga dikarenakan faktor pengetahuan saya yang masih sangat dangkal dan masih perlu banyak membaca serta belajar.

Saya bermaksud ingin sedikit membahas mengenai satu kata yang penuh filosofi, "Cah Angon". Dalam bahasa Indoensia berarti "Anak Gembala". Kata ini merupakan penggalan dari sebuah syair yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dalam upaya penyebaran Agama Islam di nusantara dahulu kala. Karena pada saat itu masyarakat Jawa menyukai tembang-tembang dan gending, membuat Sunan Kalijaga berinisiatif menciptakan sebuah lagu yang dapat menarik hati orang-orang Jawa. Inilah cara dakwah para walisongo yang sangat arif dan bijaksana. Tak memaksakan. Namun justru memasuki budaya yang telah ada dengan nilai-nilai keagamaan secara santun dan penuh toleransi.

Kembali mengenai kata "Cah Angon". Kata ini diambil dari sebuah lagu ciptaan Sunan Kalijaga berjudul "Lir Ilir" yang kurang lebih berarti "Sayup-sayup". Dalam lagu ini memiliki makna mendalam dan khusus karena bukan sembarang tembang biasa. Secara lengkapnya, tembang ini berbunyi demikian :

Lir ilir Lir ilir... 
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro-dodot iro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono, jelumatono
Mumpung padhang rembulane
Mumpung padhang kalangane
Yo surak o surak iyo

Tembang tersebut di atas saat ini sudah sangat jarang didengar . Anak-anak suku Jawa zaman dahulu tentu hafal dengan lagu yang satu ini. Di langgar-langgar biasanya lagu ini dinyanyikan setelah adzan sambil menunggu imam datang. Dipadukan dengan sholawat, tentu akan menambah enak untuk didengar telinga. Dari kata-kata yang ada, setiap kata yang dipilih Sunan Kalijaga ini tentu memiliki makna yang dalam.

Makna Cah Angon - cah angon penekno blimbing kuwi lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro, mengapa Kanjeng Sunan memilih kata Cah Angon?? bukan cah pinter atau cah hebat, atau cah ampuh. Kata cah angon dipilih oleh Sunan Kalijaga karena maknanya adalah penggembala. Penggembala diartikan orang yang dapat menggiring yang digembalanya. Seorang yang dapat membawa makmumnya ke jalan yang diridhoi Allah. Namun tidak hanya itu, penggembala di sini juga dapat diartikan seseorang yang dapat menahan hawa nafsunya, tidak mengumbar amarah, sehingga dapat meraih ridhoNya. Kemudian penekno blimbing kui berarti panjatkan belimbing itu. Mengapa menggunakan kata 'panjatkan'? karena para wali memerintahkan untuk mengikuti ajaran para nabi-nabi dan rosul dalam menjalankan syariat Islam. Belimbing dimaknai sebagai rukun Islam yang lima. Karena buah belimbing memiliki gerigi berjumlah lima. Jadi seberat apapun cobaan (lunyu-lunyu penekno/meskipun licin, panjatkan) kita harus berusaha menjalankan syariat Islam.

Demikian sedikit ulasan mengenai kata Cah Angon. Mengapa saya sendiri menggunakan kata ini sebagai nama blog sederhana saya. Saya berharap dapat seperti cah angon yang senantiasa berusaha memanjat pohon belimbing. Meskipun licin, harus terus berusaha untuk memanjatnya. Demi mendapatkan buah belimbing yang segar  dan matang. Rukun Islam yang menjadi pegangan orang Islam agar senantiasa di jalanNya sehingga meraih keselamatan dunia dan akherat. Meskipun saya sendiri belum pernah menggembala. Setidaknya menggembala dalam artian di sini.

Hehehehe...


Kutemukan Damai dalam Menulis

Foto by kompasiana.com
Jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul dua belas malam. Suasana kamarku sudah sepi. Semua teman di kamar sudah dulu menikmati malamnya dengan bantal dan alas seadanya. Sedangkan beberapa santri di depan gerbang pesantren sedang menjalankan ronda malam. Bertemankan suara jangkrik yang selalu setia menemani. Aku masih berada di dalam kamar. Duduk sendiri. Sepi. Menghadap laptop ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin. “Apa yang akan kamu rencanakan, wahai diri?”, batinku bertanya. “Ingin mengukir sejarah…”, suara batinku pun menjawab dengan yakin.
Detik demi detik berlalu. Namun tak satu kata, bahkan huruf pun tertulis pada laptop di depanku. Jari jari tangan seakan kaku . Enggan diajak menari di atas keyboard yang menanti. Mulut yang sesekali menguap, menandakan malam semakin larut. Mata pun seakan ingin terpejam, memulai berpetualang ke alam mimpi. Tubuh ini seakan tak berdaya lagi. Tetapi  tiba-tiba kaki mengajakku untuk melangkah menuju kran yang berada di pojok asrama. Aku membasahi muka dan kepala serta anggota tubuh yang lain. Air wudlu membuatku kembali bergairah. Kembali kuhampiri laptopku. Kemudian menyeruput sedikit kopi disampingnya.
Entah mengapa malam ini rasanya tak seperti biasanya, hambar. Tak ada rasa dan selera. Entah mengapa. Ah, rasanya aku adalah makhluk paling aneh dan bodoh di dunia ini. Menatap layar kosong. Putih, tanpa sepotong huruf pun menghias layar laptop. Aku ingin berdamai dengan waktu dan suasana. Ingin kembali bergairah walau hanya sesaat. Ingin meluapkan semua yang terpendam dalam otak. Menulis. Ya. Menulis. Tepatnya menyelesaikan tugas menulis dari seseorang yang memiliki banyak ilmu menulis pada acara beberapa hari yang lalu.
Lima menit berlalu. Namun, masih saja aku terpaku. Bagai mulut yang membisu dan tubuh yang lumpuh. Aku ingin berdamai dengan keadaan yang sedang menerpaku saat ini. Ya Allah.... Apa dosaku? Hingga aku seakan seperti seonggok batu tak berharga di hadapan-Mu. Kurang bersyukurkah diri ini? Terlalu banyak mengeluh dengan semuanya. Ampuni hamba ya Robb.... Ampuni, hapuslah segala dosaku. Jadikan aku orang yang selalu dalam jalan-Mu.
Kembali kucoba gerakkan jari tangan ini di atas keyboard, menarikan gerakan dan gaya layaknya seorang penulis. Memantapkan hati serta pikiran, fokus pada satu titik untuk menggali pikiran dalam otak. Kuaduk-aduk serta kukorek habis setiap sudut ruang kepala ini. Ingin kukeluarkan dalam bentuk kata-kata. Hingga... Ah, sama saja. Masih belum bisa bahagia dengan kata-kata. Tetapi biarlah. Mungkin sang waktu yang dalam genggamanNya lah penentu semua itu.
Lalu kucoba, dan terus kucoba… biarkan ini semua mengalir begitu saja…
Menulis. Satu kata ini masih saja selalu hadir dan menjadi bayang bayang semu dalam setiap langkah perjalanan hidupku. Ada apa dengan satu kata ini? Ah, mungkin aku saja yang terlalu lebay dengan satu kata ini. Lalu apa yang disebut menulis itu? Menulis bagiku adalah seni kreatif untuk merangkai kata dengan indah. Atau seni dalam mengungkapkan perasaan dan segala apa-apa yang ada dalam benak hingga mudah untuk dipahami dan diresapi.
Sedangkan istilah damai sendiri biasanya dipakai untuk istilah ketika peperangan. Ketika sudah tak ada lagi saling menembak maupun menyerang. Inilah namanya damai. Dalam pengertianku sendiri, damai adalah perasaan yang tenang dalam diri. Tak ada gundah gulana melanda. Gelisah ataupun resah enyah, pergi entah kemana. Tak ada lagi “perang” dengan keadaan.
Menulis. Baiklah, aku akan sedikit berpendapat mengenai satu kata ini. Juga terkait dengan judul yang telah tertulis di atas. "Kutemukan Damai dalam Menulis". Mengapa bisa damai dengan menulis? Damai dengan menulis di sini dimaksudkan sebagai perasaan bahagia atau lega ketika berhasil mengeluarkan resah dan gundah gulana dalam hati maupun ide-ide yang menumpuk dan berserakan dalam pikiran.
Ibarat sebuah rumah yang dipenuhi barang-barang bekas, tentu akan sempit bila tak dikeluarkan atau sekalian dijual di toko online, sehingga penghuninya merasakan sesak dan sempitnya ruangan di dalam rumah. Dengan mengeluarkan barang-barang bekas tadi menjadikan penghuninya lega dan tidak lagi merasa pengap di dalam rumah. Inilah mengapa dengan menulis itu dapat membuat hati menjadi plong serta bahagia. Inilah sampah berharga yang perlu dikeluarkan dan dikembangkan dari dalam otak.
Masih berkaitan dengan menulis dapat menimbulkan kedamaian dalam diri seseorang. Aku pernah sedikit membaca sebuah artikel di internet yang membahas mengenai manfaat menulis sebagai terapi. Menulis ekspresif atau menulis dengan menumpahkan semua perasaan yang ada pada diri terbukti dapat menurunkan stres pada seseorang. Dengan menuliskan perasaaan yang sedang dialami, seseorang akan merasa menjadi lebih baik, serta perasaan dan pikiran menjadi jernih. Penelitian ini telah dilakukan oleh Karen Baikie, seorang clinical psychologist dari University of New South Wales bahwa menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik dan penuh tekanan dapat memperbaiki kesehatan fisik dan jiwa.
Pada penelitiannya, Baikie meminta partisipan untuk menuliskan 3-5 peristiwa yang penuh tekanan dalam waktu 15-20 menit. Hasil studi ternyata menunjukkan, mereka yang menuliskan hal-hal tersebut mengalami perbaikan mental dan fisik secara signifikan dibandingkan mereka yang menulsikan topik-topik netral. Menurutnya, menulis dalam jangka panjang dapat mengurangi kadar stress, meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, mengurnagi tekanan darah, memperbaiki fungsi paru, meningkatkan mood serta mempercepat waktu perawatan di rumah sakit.
Dalam ilmu psikologi, menulis merupakan aktivitas otak kiri yang berkaitan dengan analisis dan rasional. Menulis dapat melatih otak kiri, sehingga otak kanan akan bebas mencipta, mengintuisi, dan merasakan. Sehingga dengan menulis ini dapat menyingkirkan hambatan mental bagi penulisnya serta memungkinkan untuk memahami diri, orang lain, serta dunia sekitar dengan lebih baik.
Terapi menulis juga dilakukan oleh mantan Menteri BUMN yang juga pemilik media nasional Jawa Pos, Dahlan Iskan. Ia berani menulis di saat sedang menjalani transplantasi dan kemoterapi, bahkan hingga menerbitkan satu buku. Sebuah buku dengan judul “Gagal Hati” terbit pada tahun 2008, saat itu ia sedang menjalani operasi cangkok hati di China. Ia menuliskan pengalaman dan apa yang dirasakannya saat itu. Meski dalam dunia kedokteran belum merekomendasikan terapi menulis untuk penyembuhan ini. Karena memang belum teruji secara medis. Namun yang dilakukan seorang Dahlan Iskan ini merupakan pengalaman pribadinya yang baik untuk ditiru orang lain. Masalah kesembuhan tentulah yang maha menyembuhkan yang menentukan.
Dari penelitian yang dilakukan Karen Baikie dan pengalaman unik Dahlan Iskan di atas dapat diambil sebuah pelajaran dan kesimpulan bahwa memang menulis itu banyak sekali manfaatnya. Salah satunya dapat menekan stress dan membuat perasaan menjadi damai. Dengan menuliskan dan membahasakan dengan kata-kata yang baik mengenai apa yang terserak dalam otak atau yang masih terpatri dalam hati akan membuat bahagia serta perasaan menjadi damai. Itu sedikit pengalamanku tentang bagaimana dapat merasa damai dengan aktivitas menulis. Dengan menulis dapat menghilangkan gelisah dan dapat menambah gairah.
Jadi, tunggu apalagi. Menulislah mulai detik ini juga !! Dimulai dari menulis diary yang dapat memmbahagiakan diri sendiri hingga dapat menulis di media massa dan buku yang dapat mempengaruhi dunia serta membahagiakan orang lain !
Salam damai ! Jangan lupa untuk menulis. Karena penulis bukan saja tugas seorang jurnalis melainkan bagi siapa saja yang mampu dan mau menulis. Karena dengan menulis dapat membuat hati menjadi damai. Salam sukses dan terima kasih untuk Jenius Writing Class dengan jurus-jurus ampuhnya.... semoga dapat selalu menginspirasi para santri di negeri ini.


 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT