|
Foto by kompasiana.com |
Jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul dua
belas malam. Suasana kamarku sudah sepi. Semua
teman di kamar sudah dulu menikmati malamnya
dengan bantal dan alas seadanya. Sedangkan beberapa santri di depan gerbang
pesantren sedang menjalankan ronda malam.
Bertemankan suara jangkrik yang selalu setia menemani. Aku masih berada di dalam kamar. Duduk sendiri. Sepi. Menghadap laptop
ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin. “Apa yang akan kamu rencanakan,
wahai diri?”, batinku bertanya. “Ingin mengukir sejarah…”, suara batinku pun
menjawab dengan yakin.
Detik demi detik berlalu. Namun tak satu kata,
bahkan huruf pun tertulis pada laptop di depanku. Jari jari tangan seakan kaku
. Enggan diajak menari di atas keyboard yang menanti. Mulut yang sesekali
menguap, menandakan malam semakin larut. Mata pun seakan ingin terpejam, memulai
berpetualang ke alam mimpi. Tubuh ini seakan tak berdaya lagi. Tetapi tiba-tiba kaki mengajakku untuk
melangkah menuju kran yang berada di pojok asrama. Aku membasahi muka dan kepala serta anggota tubuh yang lain. Air wudlu
membuatku kembali bergairah. Kembali kuhampiri laptopku. Kemudian menyeruput
sedikit kopi disampingnya.
Entah mengapa malam ini rasanya tak seperti
biasanya, hambar. Tak ada rasa dan selera. Entah mengapa. Ah, rasanya aku
adalah makhluk paling aneh dan bodoh di dunia ini. Menatap layar kosong. Putih,
tanpa sepotong huruf pun menghias layar laptop. Aku ingin berdamai dengan waktu
dan suasana. Ingin kembali bergairah walau hanya sesaat. Ingin meluapkan semua
yang terpendam dalam otak. Menulis. Ya. Menulis. Tepatnya menyelesaikan tugas
menulis dari seseorang yang memiliki banyak ilmu
menulis pada
acara beberapa hari yang lalu.
Lima menit berlalu. Namun, masih saja aku
terpaku. Bagai mulut yang membisu dan tubuh yang lumpuh. Aku ingin berdamai
dengan keadaan yang sedang menerpaku saat ini. Ya Allah.... Apa dosaku? Hingga
aku seakan seperti seonggok batu tak berharga di hadapan-Mu. Kurang
bersyukurkah diri ini? Terlalu banyak mengeluh dengan semuanya. Ampuni hamba ya
Robb.... Ampuni, hapuslah segala dosaku. Jadikan aku orang yang selalu dalam
jalan-Mu.
Kembali kucoba gerakkan jari tangan ini di
atas keyboard, menarikan gerakan dan gaya layaknya seorang penulis. Memantapkan
hati serta pikiran, fokus pada satu titik
untuk menggali pikiran dalam otak. Kuaduk-aduk serta kukorek habis setiap sudut
ruang kepala ini. Ingin kukeluarkan dalam bentuk kata-kata. Hingga... Ah, sama
saja. Masih belum bisa bahagia dengan kata-kata. Tetapi biarlah. Mungkin sang
waktu yang dalam genggamanNya lah penentu semua itu.
Lalu kucoba, dan terus kucoba… biarkan ini semua
mengalir begitu saja…
Menulis. Satu kata ini masih saja selalu hadir
dan menjadi bayang bayang semu dalam setiap langkah perjalanan hidupku. Ada apa
dengan satu kata ini? Ah, mungkin aku saja yang terlalu lebay dengan
satu kata ini. Lalu apa yang disebut menulis itu? Menulis bagiku adalah seni
kreatif untuk merangkai kata dengan indah. Atau seni dalam mengungkapkan
perasaan dan segala apa-apa yang ada dalam benak hingga mudah untuk dipahami
dan diresapi.
Sedangkan istilah damai sendiri biasanya
dipakai untuk istilah ketika peperangan. Ketika sudah
tak ada lagi saling menembak maupun
menyerang. Inilah namanya damai. Dalam
pengertianku sendiri, damai adalah perasaan yang tenang dalam diri. Tak ada
gundah gulana melanda. Gelisah ataupun resah enyah, pergi entah
kemana. Tak ada lagi “perang” dengan keadaan.
Menulis. Baiklah, aku akan sedikit berpendapat
mengenai satu kata ini. Juga terkait dengan judul yang telah tertulis di atas.
"Kutemukan Damai dalam Menulis". Mengapa bisa damai dengan menulis?
Damai dengan menulis di sini dimaksudkan sebagai perasaan bahagia atau lega ketika berhasil mengeluarkan resah dan gundah gulana
dalam hati maupun ide-ide yang menumpuk dan berserakan dalam pikiran.
Ibarat sebuah rumah yang dipenuhi
barang-barang bekas, tentu akan sempit bila tak dikeluarkan atau sekalian
dijual di toko online, sehingga penghuninya merasakan sesak dan
sempitnya ruangan di dalam rumah. Dengan mengeluarkan barang-barang bekas tadi
menjadikan penghuninya lega dan tidak lagi merasa pengap di dalam rumah. Inilah
mengapa dengan menulis itu dapat membuat hati menjadi plong serta
bahagia. Inilah sampah berharga
yang perlu dikeluarkan dan dikembangkan dari dalam otak.
Masih berkaitan dengan menulis dapat
menimbulkan kedamaian dalam diri seseorang. Aku pernah sedikit membaca sebuah
artikel di internet yang membahas mengenai manfaat menulis sebagai terapi.
Menulis ekspresif atau menulis dengan menumpahkan semua perasaan yang ada pada diri terbukti
dapat menurunkan stres pada seseorang. Dengan menuliskan perasaaan yang sedang
dialami, seseorang akan merasa menjadi lebih baik, serta perasaan dan pikiran
menjadi jernih. Penelitian ini telah dilakukan oleh Karen Baikie, seorang clinical
psychologist dari University of New South Wales bahwa menuliskan
peristiwa-peristiwa traumatik dan penuh tekanan dapat memperbaiki kesehatan
fisik dan jiwa.
Pada
penelitiannya, Baikie meminta partisipan untuk menuliskan 3-5 peristiwa yang
penuh tekanan dalam waktu 15-20 menit. Hasil studi ternyata menunjukkan, mereka
yang menuliskan hal-hal tersebut mengalami perbaikan mental dan fisik secara
signifikan dibandingkan mereka yang menulsikan topik-topik netral. Menurutnya,
menulis dalam jangka panjang dapat mengurangi kadar stress, meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh, mengurnagi tekanan darah, memperbaiki fungsi paru,
meningkatkan mood serta mempercepat waktu perawatan di rumah sakit.
Dalam ilmu
psikologi, menulis merupakan aktivitas otak kiri yang berkaitan dengan analisis
dan rasional. Menulis dapat melatih otak kiri, sehingga otak kanan akan bebas
mencipta, mengintuisi, dan merasakan. Sehingga dengan menulis ini dapat
menyingkirkan hambatan mental bagi penulisnya serta memungkinkan untuk memahami
diri, orang lain, serta dunia sekitar dengan lebih baik.
Terapi menulis juga dilakukan oleh
mantan Menteri BUMN yang juga pemilik media nasional Jawa Pos, Dahlan Iskan. Ia
berani menulis di saat sedang menjalani transplantasi dan kemoterapi, bahkan
hingga menerbitkan satu buku. Sebuah buku dengan judul “Gagal Hati” terbit pada
tahun 2008, saat itu ia sedang menjalani operasi cangkok hati di China. Ia
menuliskan pengalaman dan apa yang dirasakannya saat itu. Meski dalam dunia
kedokteran belum merekomendasikan terapi menulis untuk penyembuhan ini. Karena
memang belum teruji secara medis. Namun yang dilakukan seorang Dahlan Iskan ini
merupakan pengalaman pribadinya yang baik untuk ditiru orang lain. Masalah
kesembuhan tentulah yang maha menyembuhkan yang menentukan.
Dari penelitian yang dilakukan
Karen Baikie dan pengalaman unik Dahlan Iskan di atas dapat diambil sebuah
pelajaran dan kesimpulan bahwa memang menulis itu banyak sekali manfaatnya.
Salah satunya dapat menekan stress dan membuat perasaan menjadi damai. Dengan
menuliskan dan membahasakan dengan kata-kata yang baik mengenai apa yang
terserak dalam otak atau yang masih terpatri dalam hati akan membuat bahagia
serta perasaan menjadi damai. Itu sedikit pengalamanku tentang bagaimana dapat
merasa damai dengan aktivitas menulis. Dengan menulis dapat menghilangkan
gelisah dan dapat menambah gairah.
Jadi, tunggu
apalagi. Menulislah mulai detik ini juga !! Dimulai dari menulis diary yang
dapat memmbahagiakan diri sendiri hingga
dapat menulis di media massa dan buku yang dapat mempengaruhi dunia serta
membahagiakan orang lain !
Salam damai ! Jangan lupa untuk menulis.
Karena penulis bukan saja tugas seorang jurnalis melainkan bagi siapa saja yang
mampu dan mau menulis. Karena dengan menulis dapat
membuat hati menjadi damai. Salam sukses
dan terima kasih untuk Jenius Writing Class dengan jurus-jurus ampuhnya....
semoga dapat selalu menginspirasi para santri di negeri ini.