BREAKING

Kamis, 08 Maret 2018

Muhammad Yassir Arafat : Dakwahkan Nila-nilai Pesantren Melalui Social Media


Rintik hujan menemani perjalanan kami menuju sebuah warung kopi tak jauh dari pondok. Setelah beberapa menit, akhirnya kami pun sampai di warung kopi tersebut. Hari itu kami sudah membuat janji dengan salah seorang kenalan yang menginspirasi kami setelah mengisi acara di pondok pesantren beberapa hari yang lalu. Ia adalah Muhammad Yassir Arafat atau lebih dikenal dalam dunia medsosnya Aro Muhammad. Niat kami memang ingin sedikit mengetahui profil teman santri yang satu ini. Terutama dalam bidang media sosial yang belakangan memang sedang booming dan telah menjangkit di kalangan santri. Selain itu pula, dari pribadinya yang semoga dapat diambil nilai nilai positifnya.

Dilahirkan dengan nama asli Muhammad Yassir Arafat. Sekitar dua puluh enam tahun lalu di sebuah daerah di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah tamat SD ia pindah ke Yogyakarta ikut kedua orang tuanya di daerah Pleret, Bantul, Yogyakarta. Akhirnya ia memulai pendidikan pesantrennya di Yayasan Ali Maksum mulai bangku MTs hingga perkuliahan. Selama di pesantren hingga bangku kuliah ia lebih dikenal dengan nama Aro atau Arafat.

Tak jauh berbeda dengan santri-santri lainnya, kewajiban seorang santri ialah mengaji dan mengabdi. Ia pun menjalani kewajiban tersebut. Selain tekun dalam mengaji, ia pun berhasil membuat dunia pesantren menjadi dikenal masyarakat luas melalui media-media sosial yang akhir-akhir ini memang  sedang booming di kalangan anak-anak muda maupun orang tua yang ‘kekinian’. Ia memanfaatkan media Instagram untuk mendakwahkan islam yang rahmatan lil ‘alamiin itu.

Semua berawal dari sebuah keisengan membuat akun Instagram yang konten-kontennya tentang santri. Akun yang ia buat bernama  ala_santri. Saat itu hanya iseng-iseng membuat akun instagram yang memang saat itu belum terlalu dikenal, apalagi oleh kalangan santri. Selain itu pula media Instagram ini belum  support di semua handphne berbasis android. Saat itu masih sebatas handphone  yang mempunyai sistem operasi Iphone. Tepatnya pada awal-awal tahun 2014 yang lalu. Namun lambat laun media sosial berkembang pesat hingga sampai pada sudut-sudut pesantren, apalagi pesantren yang notabene selain nyantri juga menyandang status mahasiswa. Semakin lama semakin 
banyak saja follower akun yang ia buat tersebut dikarenakan konten-konten yang diposting memang bernilai pesantren dan dakwah, yang menarik bagi siapa saja yang melihat gambar atau menonton videonya.

Bermula dari keisengan tersebut, kemudian semuanya menjadi berubah. Media sosial yang awalnya belum begitu dikenal masyarakat luas dan konten-kontennya masih sebatas apa adanya kini akun ala_santri telah memiliki pengikut kurang lebih 35 ribu follower. Kuncinya adalah keistiqomahan dalam memposting konten. Ilmu di pesantren ia terapkan dalam mengunggah konten yang berupa foto-foto hasil editan maupun video tentang santri kreatif tersebut.Saat ini ia selaku admin Instagram ala_santri sudah semakin jauh dalam menggeluti bidang sosial media, terutama Instagram ini. Sehingga ketika saat itu dibentuk sebuah perkumpulan admin-admin santri ia pun diikutkan di dalamnya. Namanya saat itu ialah AIS (Admin Instagram Santri). Saat ini AIS berganti nama menjadi Arus Informasi Santri karena memang media yang dimasuki tidak hanya sebatas Instagram. Namun bisa berupa Twitter, Facebook, Youtube,dan Website. 

AIS sendiri memiliki kegiatan untuk mensosialisasikan mengenai sosial media di kalangan santri. Berdiri pada tahun 2015 dan diresmikan bertepatan dengan Hari Santri Nasional. Selain itu adanya akun-akun instagram santri supaya masyarakat mengenal lebih dekat dengan dunia pesantren dan bagi para alumni pesantren menjadi ingat pondoknya dulu. Selain mengelola akun Instagram, ia bersama-sama teman admin juga kemudian membuat sebuah buku kumpulan karya teman-teman yang memiliki passiondi dunia tulis menulis. Sehingga terbitlah sebuah buku berjudul ‘Ala Santri.’ Selain itu, produk-produk lain yang berbau santri pun sedang dalam tahap perkembangan. Akun ala_santri memberikan jalan bagi masyarakat luas untuk berkesempatan mengenal lebih dalam kehidupan di pesantren, semisal ada hal-hal unik di dalamnya. 

“Ketika di luar sana orang-orang luar pesantren pernah berkemah beberapa hari saja dan kegiatannya banyak tentang kebersamaan, bayangkan yang di pesantren yang bertahun-tahun hidup 24 jam bersama-sama. Tentu akan membawa kenangan pada setiap orang  yang pernah merasakan mondok  di pesantren”, ungkapnya.

Berkaca mata dengan perawakan  sedikit kurang berisi. Begitulah sedikit gambaran dirinya.  Kini , ia telah mengabdi  di pesantren. Mengajar  di almamaternya, tepatnya di MTs Ali Maksum sambil nyambi kerja pada sore harinya. Meski saat ini ia telah boyong, namun tekad untuk mengabdi  dan menyuarakan pesantren kepada masyarakat luas selalu tertancap kuat di dadanya. Terutama yang ada hubungannya dengan media sosial. Mengakhiri tulisan ini, kami mengutip mottonya “Hargailah proses, meskipun itu sepele”. 

Sekian, semoga dapat menginspirasi. (Ch.LQ)


Selasa, 06 Maret 2018

Oleh: Adnan Nuril A*
"Ketika yang nyata tidak lagi seperti adanya ; nostalgia menemukan maknanya yang sempurna" Jean Baudrillard dalam Semiotext(e), New York, 1981.


Berbicara tentang realitas, belum lama ini lahir satu identitas baru yang ramai digunakan khalayak. Kids Zaman Now, Mom Zaman Now, dan zaman now-zaman now yang lain menjadi identitas baru yang muncul dikarenakan pengaruh dan juga sebagai reaksi atas semakin maraknya globalisasi dan modernisasi melalui penggunaan seperangkat Teknologi Informasi dan berbagai macam produknya yang semakin canggih seperti media sosial.

Bila kita kembali dan memahami lebih dalam ungkapan Baudrillard di atas, kita akan menemukan beragam problematika kemanusiaan yang menjangkiti hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Baik dalam skala politik, sosial, budaya, bahkan aspek kehidupan yang paling intim dan eksistensial dalam diri manusia, yakni IDENTITAS.

Lalu, bagaimana posisi santri di tengah kondisi demikian? Sikap apa yang harus di ambil? Santri Zaman Now, mungkinkah? Problematika inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

1. Social Media, Ambang Batas Identitas.
Satu kata yang menunjukkan ciri manusia yang hidup di era milenium ke-3, Instan. Ya, manusia di awal abad 21 kini sudah mencapai satu titik di mana semuanya ingin diperoleh secara instan. Mulai dari pesan makanan dan minuman, beli pulsa, pesan tiket pesawat, stalking negara sebelah, dan bahkan stalking komplek sebelah pun dapat dilakukan dengan cepat, tepat, akurat, dan higienis. Tentu, semuanya didukung dengan sangat baik dan totalitas oleh teknologi informasi yang selalu memenuhi kebutuhan para konsumen dengan beragam kelebihan yang semakin menarik bagi para penggunanya.

Sebut saja Facebook. Salah satu hasil kemajuan teknologi informasi yang beroperasi pada jaringan dunia sosial besutan Mark Zuckerberg ini sudah mengantongi sebanyak 115 juta penggun aktif di Indonesia dan pertumbuhannya meningkat hampir 40 persen dalam satu tahun (liputan6.com, April 2017). Belum lagi media sosial lain yang sedang berlomba menjaring penggunanya dengan meningkatkan produk semenarik mungkin. Laporan Tetra Pak Index 2017, yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah "penggila" media sosial, atau berkisar di angka 40% (detikinet, september 2017). Bagaimana, hebat bukan?

Bagi sebagian kalangan (terlebih kalangan neo-kapitalis) keadaan ini tentu sangat menguntungkan. Lalu, bagaimana dengan santri? Apakah mereka juga diuntungkan? Atau justru sebaliknya, tergerus mental dan identitasnya menjadi hamba medsos? Kini, santri sedang mengalami suatu keadaan yang penulis sebut sebagai Dilema Eksistensial. Hal ini terjadi karena santri -sampai pada taraf tertentu- seringkali tidak dapat membedakan batas-batas antara dunia nyata dan dunia maya yang hadir belakangan dan menjadi realitas tandingan atas dunia nyata.

Yang terakhir ini hadir untuk merebut dan menggantikan dunia yang real dengan mengembangkan ilusi, fantasi, dan citra media sosial (yang sejatinya palsu namun tampak nyata) dan membuat batas-batas itu semakin kabur, tidak jelas, atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Sehingga membuat identitas mereka menjadi terombang-ambing, tak menentu, dan sulit menentukan pilihan dan menerima kenyataan, yang sejatinya sudah tak nyata lagi bagi mereka. Konkritnya, secara tak sadar identitas mereka terdistorsi, teralienasi, dan direkonstruksi ulang oleh media sosial (yang dikendalikan neo-kapitalisme) dan akhirnya mencapai satu titik batas akhir yang didominasi oleh keraguan, yakni memilih identitas yang nyata (real identity) atau identitas yang semu (pseudo-identity).

2. Era Baru, Identitas Baru

Mencermati kenyataan demikian, sebenarnya santri dituntut untuk bisa mengatasi problematika kehidupan. Lebih-lebih menentukan sikap yang tepat atas identitasnya yang kini secara terang-terangan direbut dan di ambil alih secara paksa oleh industri media sosial. Tidak semestinya kita terpesona dan terlena. Kita harus bangun, menggugat kembali kesadaran yang telah dijarah, direbut, dan dipermainkan oleh kalangan neo-kapitalisme. Kita harus mengumpulkan kembali puing-puing identitas yang tersebar di dunia citra (media sosial) yang bersifat dangkal dan banal. Tentu, upaya ini membutuhkan tenaga yang sangat besar. Setidaknya ada dua konsekuensi yang dihasilkan, yakni kematian dan kebangkitan identitas.

Yang pertama, dipahami sebagai melepaskan, meninggalkan, dan membiarkan runtuh dan hancur identitas yang dimilikinya. Hal ini terjadi karena mereka sudah terlanjur nyemplung dan tidak memiliki kekuatan untuk mentas. Ia kehilangan, tidak memiliki lagi, atau bahkan menolak pondasi (anti-fondational) identitas yang telah di ambil alih oleh produk citra (media sosial).

Yang kedua, dipahami sebagai upaya mengambil alih dan mengendalikan secara utuh kesadaran dengan melenyapkan kekuatan yang dikendalikan oleh dunia citra (media sosial), yang dengannya dapat menembus batas dan mengambil alih kendali antara yang nyata dan maya, lalu membangun kembali pijakan-pijakan dasar (fundamental ground) dan menempatkan identitas itu pada kedudukan asalnya (origin). Namun demikian, identitas itu sudah tidak sama lagi dengan kondisi awal, dalam artian sudah mengalami perubahan-perubahan yang di akibatkan oleh media sosial (efek dunia citra). Bentuk inilah yang kemudian menjadi bakal identitas baru, yang merupakan hasil dari penyesuaian-penysuaian terhadap dunianya yang baru.

3. Menjadi Santri Otentik

Menjadi otentik adalah dambaan seluruh manusia, begitu pula dengan santri. Menjadi otentik, berarti meletakkan identitasnya pada tempatnya. Yang pas dan berkarakter khas, Karakter Santri. Apa yang khas? Berikut penjelasannya.

Otentik ala santri adalah dunia santri yang tidak mau menjadi dunia mereka. Artinya, santri harus menolak standar-standar umum masyarakat yang menjadi "kebiasaan" (yang sengaja dibentuk dan dibiasakan oleh citra media sosial). Namun, diri otentik ini tidak dapat disamakam dengan diri yang anarkis, yakni menolak secara tegas segala otoritas, norma, dan nilai-nilai umum. Otentisitas masih sangat bergantung keotentikannya pada dunia di mana santri hidup dalam skala sosial-normatif, yaitu keluarga, suku, bahasa, agama, ras, dan bangsa yang mendahului eksistensi seorang santri. 

Otentik tidak berarti diri yang menyendiri (solitaire). Oleh karena otentik itu memerlukan pengakuan. Artinya, keotentikan hanya mungkin dialami dalam bingkai sosial, yakni lewat pengakuan sosial. Ia akan mengalami suatu relasi sosial yang lebih luas dengan cara berbicara tentang keunikan, identitas, dan keotentikan yang dimiliki oleh orang lain. Santri itu tahu dan paham betul, kalau Islam itu rahmatan li al-'alamin. Karenanya ia bisa merangkul seluruh elemen kehidupan (semesta) secara seimbang. Baik kehidupan yang nyata dan yang maya. Ngunu yo ngunu, ning ojo ngunu. Nostalgia (nyata maupun maya) itu boleh, tapi pahamilah bahwa ia tidaklah sempurna, dan kalau berlebihan juga bikin sakit, apalagi kalo udah sampe ke hati, susah ngobatinnya.

Menjadi santri otentik di tengah globalisasi dan modernisasi teknologi informasi, kenapa tidak??

*Santri Kelas Alfiyyah 2 PPLQ dan
Alumni Jurusan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin, 05 Maret 2018

Ketika Sang Takdir Menjawab


Mentari pagi menyapa mesra penduduk bumi. Menyusup di antara ranting-ranting pohon Mangga yang masih hijau. Tetesan embun pagi pun masih menempel di dedaunan taman depan masjid putra. Seperti biasanya, dua orang santri putri membuang sampah ke belakang asrama. Satu-satunya akses menuju belakang asrama adalah dengan melewati sebuah gang yang masih wilayah santri putra. Aku baru saja selesai sorogan dengan Ustadz Tofa di masjid. Aku pun berniat menuju kamar. Tiba-tiba di gang tersebut langkahku mendadak terhenti.

MasyaAllah…… Subhanallah...
Dia tersenyum kepadaku. “Setidaknya senyuman manisnya itu memberikan secuil harapan”, batinku dalam hati. Dengan tanpa basa-basi aku pun membalas senyumannya. Tiba-tiba, Rudi pun menepuk punggungku dari belakang. 
“Hayo… lagi liatin siapa?“ 
“Nanti aku ceritain”, jawabku padanya. 
Keesokan harinya, aku pun langsung mengajak Rudi pergi ke angkringan ‘Mbahe’ biasanya. Setibanya di sana, Rudi pun menyapa.
“Gimana bro, katanya mau cerita?”
“Ya nih, begini Rud, tahu nggak... Nuzula itu loh… Dia manis kan? 
Hayoooo jujur, hehe…”, aku terkekeh.
“Ya emang manis, kenapa emang?”, Rudi menanggapi santai.
“Entah kenapa ya, tanpa sengaja aku melihatnya tersenyum padaku, itu loh ketika Aku pulang dari masjid kemarin…”
“Mungkin suka kamu.. kejar aja bro.., jarang-jarang loh dapat cewek semanis dia..”, tiba-tiba nadanya  berubah semangat.
“Ya Aku juga sebenarnya udah suka lama lho, sama dia..., suka lahir batin deh... heeee…”, entah kenapa tiba-tiba rasa bahagia menyusup dalam hatiku.
“Semangat …..kejar dia terus kawan”
“Siap bro… bantuin Aku ya…”
“Ok.. Siap,,, aku bantu sebisa aku dan selalu dukung deh, Kamu kan teman baikku…..”, jawab Rudi, sepertinya sangat serius.

Kami pun akhirnya mengakhiri obrolan di angkringan biasa kami nongkrong itu. Dan pulang ke pesantren dengan sejuta rasa.

***

Keesokan harinya, di persimpangan jalan menuju pulang, Aku pun dikagetkan dengan Nuzula yang sedang berjalan bersama temannya. Tanpa sengaja Aku pun menatapnya dan tersenyum padanya. Dia pun membalas senyumanku. “ MasyaAllah… mimpi apa semalam”, hatiku berdesir hebat. Setalah kejadian ini Aku pun semakin yakin bahwa dia pasti menyimpan perasaan denganku. 
Akhirnya aku pun memberanikan diri mendekati dengan berbagai cara untuk mengetahui perasaannya.
“Eh Rud, besok ikut sholawatan yuk? Kayaknya besok dia datang deh.. jarang-jarang loh Habib Syech datang ke sini”, ajakku pada Rudi suatu hari.
Malam harinya pun kami langsung berangkat menuju lokasi. Setibanya di sana, Rudi pun menepuk punggungku, “Sssstttttt…wah manisnya senyumannya bro..” 
“Emang siapa Rud? Ya itu, si dia kamu sukai. 
“Wah Rud, jangan ngeliatin terus nanti kena pelet lagi, senyumannya kan mengandung hipnotis”, candaku padanya.

“Wah kenapa dengan hatiku ini? Perasaan yang tak menentu pun selalu membayangi tiap langkahku.. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati? Tapi bagaimana dengan perasaanya? Samakah perasaaanya denganku ataukah sebaliknya”, gumamku dalam hati. Keesokan harinya, Aku pun mengajak Rudi tuk memberanikan diri menemuinya, dan  mengungkapkan apa yang aku rasa selama ini.

Akhirnya, di Bulan spesial, tepatnya tanggal 1 Muharram yang berbarengan dengan tahun baru Islam, Aku pun memberanikan diri untuk menemuinya. Sebelumnya pun Aku telah menyuruh Rudi untuk menghubunginya. Hari demi hari pun terlewati, dengan bantuan Rudi Aku pun berangkat menuju alun-alun untuk menemuinya dan mengungkapkan segala persaan Aku yang telah lama kupendam. Sebuah resiko besar bagi seorang santri biasa sepertiku.

Setibanya di sana, dengan ditemani keramaian malam dan indahnya petasan, Aku pun mendekatinya. Dengan jantung dag dig dug disertai muka pucat, Aku pun mencoba mengungkapkan rasa dan keseriusan ini. 

“Nuzula…,” perlahan aku memulai percakapan. “Kita kan sudah sama-sama dewasa, tujuanku menemuimu hanya ingin mengungkapkan perasaanku dan keseriusanku tuk menjalani hubungan lebih dari sekedar pacaran. Maukah kamu menjadi sosok bidadari dalam hatiku dan kehidupaaku? Aku yakin kamu kaget dengan ungkapanku ini, tapi percaya lah Aku selalu menjagamu dan menyangimu semampuku.”

Nuzula pun menjawab dengan senyuman khasnya, Manis. “Kamu tahu nggak ? Ketika itu, Aku pun sudah menaruh hatiku padamu. Tapi maaf sebelumnya, untuk sekarang hatiku sudah menjadi milik orang lain. Untuk sekarang dan selamanya. Karena sudah ada sosok laki-laki yang sudah memberanikan diri datang ke rumahku dan menemui orang tuaku”.
Bagai petir menyambar tubuhku di siang bolong. Hatiku hancur berkeping-keping. Pupus sudah harapan bersanding dengannya. Mengarungi samudera kehidupan. Cinta yang kuanggap suci ini ternyata memilih takdirnya sendiri. Hati tak bisa memaksakan takdir. Bila memang jodoh, pasti Allah akan mempertemukan dengan seseorang yang tepat dan di saat yang tepat pula. Tak harus dengan pemilik nama Siti Firdaus Nuzula itu. Yaa muqollibal qolbiy tsabbit qolbiy ‘alaa diinik. Mantabkan hati ini untuk selalu dapat menjalani ketentuanMu Ya Robb......
 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT