Oleh: Adnan
Nuril A*
"Ketika
yang nyata tidak lagi seperti adanya ; nostalgia menemukan maknanya yang
sempurna" Jean Baudrillard dalam Semiotext(e), New
York, 1981.
Berbicara tentang realitas, belum lama ini
lahir satu identitas baru yang ramai digunakan khalayak. Kids Zaman Now, Mom Zaman Now, dan zaman
now-zaman now yang lain menjadi
identitas baru yang muncul dikarenakan pengaruh dan juga sebagai reaksi atas semakin maraknya globalisasi
dan modernisasi melalui penggunaan seperangkat Teknologi Informasi dan berbagai macam produknya yang semakin canggih seperti
media sosial.
Bila kita kembali dan memahami lebih dalam
ungkapan Baudrillard di atas, kita akan menemukan beragam problematika
kemanusiaan yang menjangkiti hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Baik dalam
skala politik, sosial, budaya, bahkan aspek kehidupan yang paling intim dan
eksistensial dalam diri manusia, yakni IDENTITAS.
Lalu, bagaimana posisi santri di tengah
kondisi demikian? Sikap apa yang harus di ambil? Santri Zaman Now,
mungkinkah? Problematika inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
1. Social Media, Ambang Batas Identitas.
Satu kata yang menunjukkan ciri manusia yang hidup di era milenium
ke-3, Instan. Ya, manusia
di awal abad 21 kini sudah mencapai satu titik di mana semuanya ingin diperoleh
secara instan. Mulai dari pesan makanan dan minuman, beli pulsa, pesan tiket
pesawat, stalking negara sebelah, dan bahkan stalking komplek
sebelah pun dapat dilakukan dengan cepat, tepat, akurat, dan higienis. Tentu,
semuanya didukung dengan sangat baik dan totalitas oleh teknologi informasi
yang selalu memenuhi kebutuhan para konsumen dengan beragam kelebihan yang
semakin menarik bagi para penggunanya.
Sebut saja Facebook. Salah satu hasil
kemajuan teknologi informasi yang beroperasi pada jaringan dunia sosial besutan
Mark Zuckerberg ini sudah mengantongi sebanyak 115 juta penggun aktif di
Indonesia dan pertumbuhannya meningkat hampir 40 persen dalam satu tahun (liputan6.com,
April 2017). Belum lagi media sosial lain yang sedang berlomba menjaring
penggunanya dengan meningkatkan produk semenarik mungkin. Laporan Tetra Pak
Index 2017, yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta
pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah
"penggila" media sosial, atau berkisar di angka 40% (detikinet,
september 2017). Bagaimana, hebat bukan?
Bagi sebagian kalangan (terlebih kalangan
neo-kapitalis) keadaan ini tentu sangat menguntungkan. Lalu,
bagaimana dengan santri? Apakah mereka juga diuntungkan? Atau justru
sebaliknya, tergerus mental dan identitasnya menjadi ‘hamba’ medsos? Kini, santri
sedang mengalami suatu keadaan yang penulis sebut sebagai Dilema Eksistensial.
Hal ini terjadi karena santri -sampai pada
taraf tertentu- seringkali
tidak dapat membedakan batas-batas antara dunia
nyata dan dunia maya yang hadir
belakangan dan menjadi realitas tandingan atas dunia nyata.
Yang terakhir ini hadir untuk merebut dan
menggantikan dunia yang real dengan mengembangkan ilusi, fantasi, dan citra
media sosial (yang sejatinya palsu namun tampak nyata) dan membuat batas-batas itu
semakin kabur, tidak jelas, atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Sehingga
membuat identitas mereka menjadi terombang-ambing, tak menentu, dan sulit
menentukan pilihan dan menerima kenyataan, yang sejatinya sudah tak nyata lagi
bagi mereka. Konkritnya, secara tak sadar identitas mereka terdistorsi,
teralienasi, dan direkonstruksi ulang oleh media sosial (yang dikendalikan
neo-kapitalisme) dan akhirnya mencapai satu titik batas akhir yang didominasi
oleh keraguan, yakni memilih identitas yang nyata (real identity) atau
identitas yang semu (pseudo-identity).
2. Era Baru, Identitas Baru
Mencermati kenyataan demikian, sebenarnya
santri dituntut untuk bisa mengatasi problematika kehidupan. Lebih-lebih
menentukan sikap yang tepat atas identitasnya yang kini secara terang-terangan
direbut dan di ambil alih secara paksa oleh industri media sosial. Tidak semestinya
kita terpesona dan terlena. Kita harus bangun, menggugat kembali kesadaran yang
telah dijarah, direbut, dan dipermainkan oleh kalangan neo-kapitalisme. Kita
harus mengumpulkan kembali puing-puing identitas yang tersebar di dunia citra
(media sosial) yang bersifat dangkal dan banal. Tentu, upaya
ini membutuhkan tenaga yang sangat besar. Setidaknya ada dua konsekuensi yang
dihasilkan, yakni kematian dan kebangkitan identitas.
Yang pertama, dipahami sebagai melepaskan, meninggalkan,
dan membiarkan runtuh dan hancur identitas yang dimilikinya. Hal ini terjadi
karena mereka sudah terlanjur nyemplung dan tidak memiliki kekuatan
untuk mentas. Ia kehilangan, tidak memiliki lagi, atau bahkan menolak pondasi (anti-fondational) identitas yang telah di ambil alih oleh
produk citra (media sosial).
Yang kedua, dipahami sebagai upaya mengambil alih dan
mengendalikan secara utuh kesadaran dengan melenyapkan kekuatan yang
dikendalikan oleh dunia citra (media sosial), yang dengannya dapat menembus
batas dan mengambil alih kendali antara yang nyata dan maya, lalu membangun
kembali pijakan-pijakan dasar (fundamental ground) dan menempatkan
identitas itu pada kedudukan asalnya (origin). Namun demikian, identitas itu
sudah tidak sama lagi dengan kondisi awal, dalam artian sudah mengalami
perubahan-perubahan yang di akibatkan oleh media sosial (efek dunia citra).
Bentuk inilah yang kemudian menjadi bakal identitas baru, yang merupakan hasil
dari penyesuaian-penysuaian terhadap dunianya yang baru.
3. Menjadi Santri Otentik
Menjadi otentik adalah dambaan seluruh
manusia, begitu pula dengan santri. Menjadi otentik, berarti meletakkan
identitasnya pada tempatnya. Yang pas dan
berkarakter khas, Karakter Santri. Apa
yang khas? Berikut penjelasannya.
Otentik ala santri adalah dunia santri yang
tidak mau menjadi dunia ‘mereka’. Artinya,
santri harus menolak standar-standar umum masyarakat yang menjadi
"kebiasaan" (yang sengaja dibentuk dan dibiasakan oleh citra media
sosial). Namun, diri otentik ini tidak dapat disamakam dengan diri yang
anarkis, yakni menolak secara tegas segala otoritas, norma, dan nilai-nilai
umum. Otentisitas masih sangat bergantung keotentikannya pada dunia di mana
santri hidup dalam skala sosial-normatif, yaitu keluarga, suku, bahasa, agama,
ras, dan bangsa yang mendahului eksistensi seorang santri.
Otentik tidak
berarti diri yang menyendiri (solitaire). Oleh karena otentik itu memerlukan pengakuan. Artinya, keotentikan
hanya mungkin dialami dalam bingkai sosial, yakni lewat pengakuan sosial. Ia
akan mengalami suatu relasi sosial yang lebih luas dengan cara berbicara
tentang keunikan, identitas, dan keotentikan yang dimiliki oleh orang lain.
Santri itu tahu dan paham betul, kalau Islam itu rahmatan li al-'alamin. Karenanya ia
bisa merangkul seluruh elemen kehidupan (semesta) secara seimbang. Baik kehidupan yang nyata dan yang maya. Ngunu yo ngunu, ning ojo
ngunu. Nostalgia (nyata maupun maya) itu boleh, tapi pahamilah bahwa ia
tidaklah sempurna, dan kalau berlebihan juga bikin sakit, apalagi kalo
udah sampe ke hati, susah ngobatinnya.
Menjadi santri otentik di tengah globalisasi dan modernisasi
teknologi informasi, kenapa tidak??
*Santri Kelas Alfiyyah 2 PPLQ dan
Alumni Jurusan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...