Setiap detik, bahkan setiap waktu, dari dulu hingga kini, tentu bumi masih terus berputar. Buktinya dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri.
Matahari masih terbit dari Timur dan begitu pula tenggelamnya, masih sama, di bagian Barat sana. Langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan berbagai macam tanaman. Meskipun berbagai sikap manusia berbeda-beda dalam menyikapinya.
Tuhan sang pemilik alam masih memberikan sepercik kasih sayangnya kepada kita. Sepercik kasih sayang yang bagi kita tiada terhingga nilainya. Terutama nikmat kesehatan dalam menjalani kehidupan.
Tulisan ini ditulis dengan jemari yang sedikit kaku karena sudah begitu lama tak pernah menari di atas keyboard. Otak yang masih beku untuk diajak menata kata.
Serta mata yang semakin sayu dimakan waktu. Waktu yang kian malam kian syahdu. Meski hati ini sendu, semoga tetap tegar tak lekang oleh waktu.
Kawan, entah apa maksud dan tujuanku menulis ini. Namun sudilah kiranya kawan membaca sejenak celotehan jemari yang menurutku kaku dan beku tadi. Semoga kawan-kawan pembaca tak marah padaku. Hehehe.
Kawan, deretan kata dan kalimat ini aku tulis di penghujung bulan tahun ini. Ya, bulan Desember. Di akhir tahun ini, aku hanya ingin menulis.
Entah apa yang ada di dalam tulisan ini. Harapanku, semoga bermanfaat. Itu saja. Andaikan tidak penting, diabaikan juga tidak apa.
Kawan, di akhir tahun ini sudahkah kawan-kawan semua menyadari dan instropeksi diri? Atau dalam bahasa Syar’i-nya ‘Muhasabah.’ Jika sudah, alhamdulillah.
Bagi yang belum, marilah segera bersama-sama kita instropeksi atau bermuhasabah diri. Akupun demikian. Melalui tulisan ini, aku sedang menyuguhkan kata-kata dan kalimat yang sesungguhnya adalah inntropeksi bagi diriku sendiri.
Kawan, di setiap penghujung biasanya kita akan melihat sebentar perjalanan yang sudah kita lalui di belakang. Perjalanan panjang selama setahun penuh dari Januari hingga bulan ini, Desember.
Tentu kawan semua tidak mudah melewatinya. Penuh perjuangan dan air mata, mungkin. Kaki yang sudah semakin lelah karena harus berjalan.
Tubuh yang mungkin juga hampir menyerah karena dihantam badai hidup. Hati yang hampir patah karena keadaan yang kian lama kian tak menentu.
Tapi, semua itu akan kita istirahatkan sebentar. Untuk mengawali tahun depan yang juga tidak mudah.
Kawan, mari kita bersama-sama bersyukur kepada Sang Pencipta. Sang Pemilik alam semesta dan juga diri ini sepenuhnya.
Karena hanya atas ridhoNya semua akan berjalan dengan baik dan tanpaNya kita hanyalah butiran debu tiada berdaya. Syukur berarti tidak mengeluh terhadap segala ketentuanNya.
Meskipun tingkatan syukur setiap hamba berbeda-beda. Syukur paling tinggi adalah ketika mendapat musibah namun justru bersyukur. Yang biasanya jika mendapat musibah standarnya adalah bersabar.
Beruntunglah bagik sudah mampu bersyukur meski diberikan cobaan atau musibah.
Kawan, di penghujung akhir tahun ini tentu banyak juga peristiwa dan kejadian yang dilalui. Mulai dari peristiwa kecil, sedang hingga luar biasa.
Dari kejadian-kejadian yang menimpa diri sendiri, keluarga, tetangga, teman hingga negara bahkan di seluruh pelosok dan penjuru dunia dapat kita saksikan. Tentu dengan kemajuan internet saat ini.
Kawan, bagiku tahun ini ada beberapa peristiwa yang mungkin bisa menjadi kenangan. Mulai dari wisuda kuliah jenjang magister hingga aku boyong dari pesantren. Tentu semua itu adalah peristiwa penting bagi sebagian orang, termasuk bagiku.
Wisuda Program Magister
Tahun ini, tepatnya pada 15 Juni lalu aku melaksanakan wisuda atau perayaan kelulusan perkuliahan. Selama kurang lebih dua tahun aku kuliah, yang tentunya banya dengan sistem daring (dalam jaringan), alhamdulillah akhirnya dapat terselesaikan juga.
Meski dilalui dengan banyaknya kendala. Terutama soal kendala teknis saat perkuliahan, belum lagi kendala dana yang masih saja belum bisa full membayar mandiri karena masih menjadi beban orang tua.
Terlebih pada masa pandemi, semua orang merasakan kesulitan. Apapun profesi dan bidang pekerjaannya.
Kuliah di jenjang ini sebenarnya sudah tertunda dua tahun semenjak kelulusan Strata 1. Karena saat itu aku mencari beasiswa kesana kemari yang alhamdulillah belum diberi rezeki melalui jalur tersebut.
Barulah setelah diskusi dengan orang tua, jalur beasiswa orang tua akhirnya diterima. Meski dengan jalan hutang. Aku pun bertekad menyelesaikan tepat waktu dan berjanji mengembalikan biaya itu.
Meskipun sedikitpun dari orang tua tak pernah membahasnya. Mungkin dari hati nuraniku yang akan bertekad sedikit meringankan beban keluarga. Terlebih aku adalah anak tertua dari empat bersaudara.
Meski pernah mengalami perkuliahan daring dan saat itu di desa, yang otomatis kendala teknis seperti internet yang sulit menjadi persoalan, akhirnya semua dapat dilalui dengan baik. Alhamdulillah.
Saat wisuda kemarin, kedua orang tuaku tak hadir. Tak mengapa. Karena kehadiran mereka justru akan menambah beban biaya lagi. Toh, yang penting kabar bahagia sudah tersampaikan.
Beliau berdua juga sudah hadir saat wisuda S1 dulu. Dalam wisuda-ku kemarin yang hadir mewakili undangan sebagai wali adalah adikku yang di Jogja.
Selain itu, teman-teman pesantren di Jogja juga hadir dan memberikan ucapan selamat. Aku haturkan banyak terima kasih juga kepada mereka.
Karena atas dukungan dan semangat dari mereka juga akhirnya aku dapat menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu, meskipun tidak dengan predikat Cumlaude (pujian). Hehehe.
Sekali lagi, aku bersyukur sudah sampai hingga posisi saat ini dengan baik. PRnya, tentu masih banyak.
Yang harus dilakukan tentu semakin besar dan tentunya tanggung jawab di pundak juga semakin berat. Status yang disandang di mata masyarakat dan negara sudah lumayan.
Doanya, semoga badan ini selalu sehat dan hati yang selalu kuat. Aamiin.
Boyong dari Pesantren dan Kota Istimewa
Ya, selain wisuda, peristiwa tahun ini yang tak kalah istimewa dan terkenang adalah boyong dari pesantren. Boyong, istilah lainnya adalah pergi atau meninggalkan atau pindah. Ya, boyong. Aku boyong dari pesantren untuk kembali ke kampung halaman.
Kurang lebih dua belas tahun di pesantren dan kota istimewa, Jogja, rasanya sungguh berat untuk meninggalkan kenangan dan pengalaman tersebut.
Tapi mau bagaimana lagi, semua itu adalah pilihan. Pilihan untuk belajar dan mencari pengalaman di kota istimewa.
Pilihan untuk jauh dari sanak saudara dan orang tua. Ataupun pilihan untuk mengambil resiko apapun. Karena sejatinya hidup adalah pilihan.
Termasuk pilihan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya. Seseorang yang membuatku menentukan pilihan akan menghabiskan hidup di mana.
Ya, aku akhirnya menentukan untuk hidup di luar Jawa. Tepatnya di Sumatera. Tanah kelahiranku. Bahkan akhirnya aku menikah dengan orang Sumatera juga.
Meskipun kenalnya di Kota Istimewa. Semoga pilihan-pilihan yang disuguhkan Tuhan itu membuatku juga mantap untuk melaluinya. Tentunya tetap dengan berusaha dan berdo’a.
Tulisan ini aku selesaikan di tahun 2023, tepatnya di bulan Maret menjelang Puasa Ramadhan. Maklum, kemarin-kemarin sedang sibuk ‘menata ulang’ kehidupan baru bersama istri. Hehehe.
Kini, diriku telah berada di suatu tempat yang jauh dari kampung halaman. Merantau mungkin jalan ninjaku. Atau itu adalah takdirku? Hehehe. Diriku kini sedang di Tanah Melayu. Tepatnya di Daik, Kabupeten Lingga, Propinsi Kepri.
Semoga di manapun diriku hidup dan berada senantiasa diberi pertolongan serta petunjuk oleh Sang Maha Kuasa. Karena di manapun, sejatinya adalah buminya Allah Swt.
Sekian. Terima kasih.