BREAKING

Senin, 20 Maret 2023

Refleksi dan Instropeksi Akhir Tahun (Sebuah Kilas Balik Momen di Tahun 2022)

 


Setiap detik, bahkan setiap waktu, dari dulu hingga kini, tentu bumi masih terus berputar. Buktinya dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri. 

Matahari masih terbit dari Timur dan begitu pula tenggelamnya, masih sama, di bagian Barat sana. Langit  menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan berbagai macam tanaman. Meskipun berbagai sikap manusia berbeda-beda dalam menyikapinya. 

Tuhan sang pemilik alam masih memberikan sepercik kasih sayangnya kepada kita. Sepercik kasih sayang yang bagi kita tiada terhingga nilainya. Terutama nikmat kesehatan dalam menjalani kehidupan.

Tulisan ini ditulis dengan jemari yang sedikit kaku karena sudah begitu lama tak pernah menari di atas keyboard. Otak yang masih beku untuk diajak menata kata. 

Serta mata yang semakin sayu dimakan waktu. Waktu yang kian malam kian syahdu. Meski hati ini sendu, semoga tetap tegar tak lekang oleh waktu.

Kawan, entah apa maksud dan tujuanku menulis ini. Namun sudilah kiranya kawan membaca sejenak celotehan jemari yang menurutku kaku dan beku tadi. Semoga kawan-kawan pembaca tak marah padaku. Hehehe.

Kawan, deretan kata dan kalimat ini aku tulis di penghujung bulan tahun ini. Ya, bulan Desember. Di akhir tahun ini, aku hanya ingin menulis. 

Entah apa yang ada di dalam tulisan ini. Harapanku, semoga bermanfaat. Itu saja. Andaikan tidak penting, diabaikan juga tidak apa.

Kawan, di akhir tahun ini sudahkah kawan-kawan semua menyadari dan instropeksi diri? Atau dalam bahasa Syar’i-nya ‘Muhasabah.’ Jika sudah, alhamdulillah. 

Bagi yang belum, marilah segera bersama-sama kita instropeksi atau bermuhasabah diri. Akupun demikian. Melalui tulisan ini, aku sedang menyuguhkan kata-kata dan kalimat yang sesungguhnya adalah inntropeksi bagi diriku sendiri.

Kawan, di setiap penghujung biasanya kita akan melihat sebentar perjalanan yang sudah kita lalui di belakang. Perjalanan panjang selama setahun penuh dari Januari hingga bulan ini, Desember. 

Tentu kawan semua tidak mudah melewatinya. Penuh perjuangan dan air mata, mungkin. Kaki yang sudah semakin lelah karena harus berjalan. 

Tubuh yang mungkin juga hampir menyerah karena dihantam badai hidup. Hati yang hampir patah karena keadaan yang kian lama kian tak menentu. 

Tapi, semua itu akan kita istirahatkan sebentar. Untuk mengawali tahun depan yang juga tidak mudah.

Kawan, mari kita bersama-sama bersyukur kepada Sang Pencipta. Sang Pemilik alam semesta dan juga diri ini sepenuhnya. 

Karena hanya atas ridhoNya semua akan berjalan dengan baik dan tanpaNya kita hanyalah butiran debu tiada berdaya. Syukur berarti tidak mengeluh terhadap segala ketentuanNya. 

Meskipun tingkatan syukur setiap hamba berbeda-beda. Syukur paling tinggi adalah ketika mendapat musibah namun justru bersyukur. Yang biasanya jika mendapat musibah standarnya adalah bersabar. 

Beruntunglah bagik sudah mampu bersyukur meski diberikan cobaan atau musibah.

Kawan, di penghujung akhir tahun ini tentu banyak juga peristiwa dan kejadian yang dilalui. Mulai dari peristiwa kecil, sedang hingga luar biasa. 

Dari kejadian-kejadian yang menimpa diri sendiri, keluarga, tetangga, teman hingga negara bahkan di seluruh pelosok dan penjuru dunia dapat kita saksikan. Tentu dengan kemajuan internet saat ini.

Kawan, bagiku tahun ini ada beberapa peristiwa yang mungkin bisa menjadi kenangan. Mulai dari wisuda kuliah jenjang magister hingga aku boyong dari pesantren. Tentu semua itu adalah peristiwa penting bagi sebagian orang, termasuk bagiku.

Wisuda Program Magister 

Tahun ini, tepatnya pada 15 Juni lalu aku melaksanakan wisuda atau perayaan kelulusan perkuliahan. Selama kurang lebih dua tahun aku kuliah, yang tentunya banya dengan sistem daring (dalam jaringan), alhamdulillah akhirnya dapat terselesaikan juga. 

Meski dilalui dengan banyaknya kendala. Terutama soal kendala teknis saat perkuliahan, belum lagi kendala dana yang masih saja belum bisa full membayar mandiri karena masih menjadi beban orang tua. 

Terlebih pada masa pandemi, semua orang merasakan kesulitan. Apapun profesi dan bidang pekerjaannya.

Kuliah di jenjang ini sebenarnya sudah tertunda dua tahun semenjak kelulusan Strata 1. Karena saat itu aku mencari beasiswa kesana kemari yang alhamdulillah belum diberi rezeki melalui jalur tersebut. 

Barulah setelah diskusi dengan orang tua, jalur beasiswa orang tua akhirnya diterima. Meski dengan jalan hutang. Aku pun bertekad menyelesaikan tepat waktu dan berjanji mengembalikan biaya itu. 

Meskipun sedikitpun dari orang tua tak pernah membahasnya. Mungkin dari hati nuraniku yang akan bertekad sedikit meringankan beban keluarga. Terlebih aku adalah anak tertua dari empat bersaudara.

Meski pernah mengalami perkuliahan daring dan saat itu di desa, yang otomatis kendala teknis seperti internet yang sulit menjadi persoalan, akhirnya semua dapat dilalui dengan baik. Alhamdulillah.

Saat wisuda kemarin, kedua orang tuaku tak hadir. Tak mengapa. Karena kehadiran mereka justru akan menambah beban biaya lagi. Toh, yang penting kabar bahagia sudah tersampaikan. 

Beliau berdua juga sudah hadir saat wisuda S1 dulu. Dalam wisuda-ku kemarin yang hadir mewakili undangan sebagai wali adalah adikku yang di Jogja.

Selain itu, teman-teman pesantren di Jogja juga hadir dan memberikan ucapan selamat. Aku haturkan banyak terima kasih juga kepada mereka. 

Karena atas dukungan dan semangat dari mereka juga akhirnya aku dapat menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu, meskipun tidak dengan predikat Cumlaude (pujian). Hehehe.

Sekali lagi, aku bersyukur sudah sampai hingga posisi saat ini dengan baik. PRnya, tentu masih banyak. 

Yang harus dilakukan tentu semakin besar dan tentunya tanggung jawab di pundak juga semakin berat. Status yang disandang di mata masyarakat dan negara sudah lumayan. 

Doanya, semoga badan ini selalu sehat dan hati yang selalu kuat. Aamiin.

Boyong dari Pesantren dan Kota Istimewa

Ya, selain wisuda, peristiwa tahun ini yang tak kalah istimewa dan terkenang adalah boyong dari pesantren. Boyong, istilah lainnya adalah pergi atau meninggalkan atau pindah. Ya, boyong. Aku boyong dari pesantren untuk kembali ke kampung halaman. 

Kurang lebih dua belas tahun di pesantren dan kota istimewa, Jogja, rasanya sungguh berat untuk meninggalkan kenangan dan pengalaman tersebut.

Tapi mau bagaimana lagi, semua itu adalah pilihan. Pilihan untuk belajar dan mencari pengalaman di kota istimewa. 

Pilihan untuk jauh dari sanak saudara dan orang tua. Ataupun pilihan untuk mengambil resiko apapun. Karena sejatinya hidup adalah pilihan. 

Termasuk pilihan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya. Seseorang yang membuatku menentukan pilihan akan menghabiskan hidup di mana.

Ya, aku akhirnya menentukan untuk hidup di luar Jawa. Tepatnya di Sumatera. Tanah kelahiranku. Bahkan akhirnya aku menikah dengan orang Sumatera juga. 

Meskipun kenalnya di Kota Istimewa. Semoga pilihan-pilihan yang disuguhkan Tuhan itu membuatku juga mantap untuk melaluinya. Tentunya tetap dengan berusaha dan berdo’a.

Tulisan ini aku selesaikan di tahun 2023, tepatnya di bulan Maret menjelang Puasa Ramadhan. Maklum, kemarin-kemarin sedang sibuk ‘menata ulang’ kehidupan baru bersama istri. Hehehe.

Kini, diriku telah berada di suatu tempat yang jauh dari kampung halaman. Merantau mungkin jalan ninjaku. Atau itu adalah takdirku? Hehehe. Diriku kini sedang di Tanah Melayu. Tepatnya di Daik, Kabupeten Lingga, Propinsi Kepri.

Semoga di manapun diriku hidup dan berada senantiasa diberi pertolongan serta petunjuk oleh Sang Maha Kuasa. Karena di manapun, sejatinya adalah buminya Allah Swt. 

Sekian. Terima kasih.

Kamis, 16 Maret 2023

Menyusuri Jejak Penguasa Kesultanan Melayu Lingga





Saat ini, diriku telah menginjakkan kaki di Bunda Tanah Melayu. Ya, Bunda Tanah Melayu. Sebutan lain dari Kabupaten Lingga. Tepatnya aku sekarang tinggal di Kelurahan Daik, Lingga, Kepulauan Riau. 

Aku mungkin ditakdirkan untuk menengok kembali sejarah dan jejak para penyebar Agama Islam di Tanah Melayu saat ini. Jejak-jejak dan sejarah perjuangan para pendiri kesultanan serta penegak kebenaran agama Allah yang berada di tanah Melayu. Sebuah pulau di Sumatera. 

Aku tak sendirian. Aku bersama istri menuju peristirahatan terakhir seorang sultan dan ulama penyebar Agama Allah itu. Sebuah makam yang terletak di belakang Masjid Sultan Daik Lingga. 

Tepat setelah menunaikan Shalat Ashar, disertai rintik hujan sore, kamipun berjalan menuju makam. Suasana sedikit mendung dan rintik air hujan menemani perjalanan kami saat itu. Tak apa, suasana yang akan menambah syahdu perjalanan religi kali ini.

Kurang lebih seminggu lalu, kami telah melangsungkan pernikahan. Hingga kami memutuskan untuk tinggal di sini, Bunda Tanah Melayu Lingga ini. Semoga kami -terutama diriku- betah tinggal di sini. Cerita perjalanan kisah kami sungguh panjang. Tak akan cukup dituliskan di sini. 

Pada intinya, kami telah sampai di gerbang pernikahan. Sebuah gerbang menuju kehidupan baru, menjalankan syariat Allah Swt. Kami berdua akhirnya sampai di depan pintu pemakaman. 

Pemakaman di Kompleks Masjid Sultan tersebut merupakan kompleks pemakaman khusus keluarga kesultanan. Terlihat banyak makam tua di sana. Jika dilihat dari batu nisan yang terkesan tua dan kusam serta terbuat dari batu, dapat dipastikan makam itu sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun lalu. 
 
Kamipun sampai di Makam pertama. Makam Sultan Mahmud Riayat Syah III. Beliau merupakan Sultan atau Raja di Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Menurut para ahli sejarah, beliau ini memimpin tanah Melayu dari Tahun 1761 hingga 1812 M. 

Banyak kisah perjuangan dan teladan yang dapat diambil dari sosok Sultan Mahmud Riayat Syah III ini. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang sangat disegani rakyatnya. Selain karena wibawanya sebagai keturunan kerajaan, beliau juga gigih membela rakyat dan negara dari segala bentuk penjajahan. 

Beliau tak pernah rela jika bangsanya ditindas oleh negara lain, termasuk Belanda dan Inggris pada waktu itu. Beliau juga merupakan panglima perang yang piawai dalam mengatur strategi untuk mengusir penjajah. 

Dengan kegigihan beliau bersama rakyat, akhirnya Belanda dan Inggris pun dibuat kalang kabut. Hal ini dibuktikan dengan adanya Perang Riau yang terjadi pada 1782 - 1784 (Dalam Buku Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah). Bahkan, Belanda pernah dipermalui pada tahun 1787 di Tanjungpinang. 

Musuh-musuh bahkan terpaksa melarikan diri dengan pakaian sehelai pinggang, termasuk pimpinannya Residen Belanda di Tanjungpinang -David Ruhde- yang dengan wajah tertunduk harus pulang ke markas nya di Malaka kala itu. 

"Silalah berbisnis secara beradab dengan semangat saling menjunjung martabat, tetapi begitu kalian berubah menjadi biadab dengan menganggap kami bangsa yang lemah; langkah dulu mayat beta!" begitu kurang lebih perkataan Sultan Mahmud. 

Sungguh sikap patriotisme seorang penguasa yang berwibawa. Sultan Mahmud juga terkenal dengan kepiawaian dalam mengatur pemerintahan. 

Penerapan sistem otonomi daerah menjadikan wilayah-wilayah taklukan kerajaan memiliki wewenang untuk mengatur dengan kreatif dan kerja keras. Sehingga wilayah-wilayah taklukkannya dapat hidup lebih makmur dan damai. 

Sungguh, teladan yang sangat luar biasa dari sosok Sultan Mahmud. Sultan berwibawa nan baik kala memerintah Kesultanan Tanah Melayu kala itu.





Selesai menziarahi Makam Sultan Mahmud, kamipun meneruskan perjalanan menuju Makam kedua, Makam Merah. Makam Merah merupakan sebutan lain dari makam Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi. 

Beliau adalah raja terakhir dari Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi ini memimpin dari tahun 1858 hingga 1899. Empat puluh tahun lebih beliau memerintah Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Makam Merah ini terletak di Daik, Kecamatan Lingga, Kepri. 

Tepatnya di sebelah barat Museum Linggam Cahaya yang dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga. Dinamakan Makam Merah karena warna dominan di kawasan makam tersebut berwarna merah. Pagar dan pintu area makam bercat merah hingga keramiknya.

Menariknya juga, dari kompleks pemakaman bisa disaksikan dengan jelas kemegahan Gunung Daik di sebelah Timur. Selain makam Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, terdapat juga makam yang mengurus rumah tangga istana. 

Beliau dikenal dengan nama Encik Ismail. Hal itu dibenarkan oleh penjaga makam di sana. Selain makam kedua tokoh hebat tersebut, tentunya masih banyak makam dan jejak-jejak peninggalan di Tanah Melayu ini. 

Semoga kita dapat melanjutkan perjalanan religi itu lagi di kemudian hari. Demikian sekilas cerita singkat perjalanan kami menyusuri secuil jejak-jejak para penerus Agama Allah di Bumi Melayu ini. Semoga kita dapat mengambil teladan dan hikmah serta meneruskan perjuangan beliau-beliau. Aamiin.
 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT