BREAKING

Sabtu, 15 Agustus 2020

Dos and Donts on Influencing Others ; Etika dan Estetika Seorang Influencer

 


Setiap langkah, bahkan setiap detik dalam kehidupan manusia tidak bisa bebas merdeka tanpa beban apapun. Apalagi sebagai manusia normal yang hidup bermasyarakat baik di lingkungan kampung maupun perkotaan. Baik itu ketika berada di lingkungan perkuliahan mupun acara hajatan. Semua tentu memiliki norma dan adat yang perlu diikuti menyesuaikan lingkungannya masing-masing. Terlebih bagi orang baru yang datang ke suatu daerah. Adaptasi dalam pergaulan pun sangat dibutuhkan jika ingin diterima dengan baik oleh lingkungan barunya. Begitu pula dengan seorang influencer yang sejatinya ingin membuat perubahan. Khususnya perubahan yang lebih baik. Tentu beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan barunya sangat diperlukan.

            Aturan-aturan dan batasan dalam pergaulan inilah yang kemudian biasa kita sebut dengan etika. Etika bisa diibaratkan Dos and Don’t’s (yang boleh dan tidak boleh dilakukan). Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara (1962), etika ialah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenahi gerak-gerik, pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Sedangkan pengertian etika dalam bahasa Yunani “ta etha” bentuk jamaknya Ethos berarti adat kebiasaan. Aristoteles menyebutnya filsafat moral, moral bahasa latinnya “Mos” jamaknya “Mores” artinya Kebiasaan.

Suatu ukuran baik dan buruk sifatnya individual akan dilihat dari orang yang menilainya, karena baik dan buruk itu terikat pada ruang dan waktu, sehingga ia tidak berlaku secara universal. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk dapat dilihat dari beberapa aliran-aliran  berikut ini yang diuraikan oleh John C. Merill (1975:79-88) yang dapat digunakan sebagai standar menilai tindakan etis, antara lain Deontologis, Teleologis, Egoisme, Utilitarisme dan Pragmatisme.

Pertama, Aliran Deontologis (Deon dari bahasa yunani yang artinya harus atau wajib). Melakukan penilaian atas tindakan dengan melihat tindakan itu sendiri. Artinya, suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu sendiri. Ada tindakan atau perilaku yang langsung dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku yang langsung dinilai buruk. Ukuran etis yang berbeda, dikemukakan oleh aliran teleologis (telos berarti tujuan). Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi dilihat atas tindakan itu. Jika tujuannya baik dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu digolongkan sebagai tindakan etis. Jadi apabila suatu tindakan betujuan jelek, akan dikategorikan tidak etis.[1]

 Kedua, Aliran Egoisme menetapkan norma moral pada akibat yag diperoleh oleh pelakunya sendiri. Artinya tindakan dikategorikan etis dan baik, apabila menghasilkan terbaik bagi diri sendiri.[2]

Ketiga, Aliran Utilitarisme  (dari kata utilitis yang artinya berguna) adalah kebalikan dari paham egoisme, yaitu yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak. Dengan demikian, tindakan itu tidak diukur dari kepentingan subyektif individu, melainkan secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan itu, maka dipandang semakin etis.[3]

Keempat, aliran teleologis (telos berarti tujuan). Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi dilihat atas tindakan itu. Jika tujuannya baik dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu digolongkan sebagai tindakan etis. Jadi apabila suatu tindakan betujuan jelek, akan dikategorikan tidak etis.

Terakhir, aliran Pragmatisme. Aliran ini menitik beratkan pada hal yang berguna dari diri sendiri,baik yang bersifat moril maupun materil. Serta menitikberatkan pada pengalaman, oleh karena itu penganut ini tidak mengenal istilah kebenaran, sebab kebenaran itu bersifat abstrak dan tidak diperoleh dalam dunia empiris.[4]

Demikian pula dengan yang estetika. Estetika dalam bahasa lain adalah keindahan, nilai seni dan enak dipandang. Selain etika di atas, influencer pun hendaknya memiliki estetika dalam mempengaruhi orang lain. Estetika bisa dalam penampilan dan juga sikap. Dalam hal penampilan atau kemasan, bisa dibuat dan dibentuk sedemikian rupa supaya terlihat menarik. Namun dari segi sikapnya, seorang influencer pula diharapkan memiliki inner beauty. Inner beauty sendiri bukan hanya disematkan kepada seorang perempuan karena terdapat kata ‘beauty’ yang berarti cantik. Namun lebih kepada sikap atau akhlak dalam diri seseorang. Sehingga tidak hanya perempuan yang bisa disebut memiliki inner beauty. Laki-laki pun sama saja. Namun dalam penampilan dan sikap yang tentunya harus menyesuaikan dengan kodratnya sebagai lelaki pula.

Estetika dalam kemasan suatu produk influencer pun perlu diperhatikan. Misal dalam membuat produk-produk komunikasi bagaimana cara supaya kemasan menarik dilihat mata, dirasakan hati serta membaawa dampak positif bagi konsumen atau penikmat produk seorang influencer. Konten-konten yang diproduksi selain menjadi tontonan, juga diharapkan menjadi tuntunan yang dapat mendidik anak bangsa. Tidak hanya mencari keuntungan semata (apalagi komersil). Meskipun itu sangat sekali dihindari karena kebutuhan hidup yang semakin menghimpit.

Sekali lagi, bahwa bagi setiap influencer hendaknya memperhatikan Dos and Donts tadi. Di mana dalam setiap tindakan atau karya yang dihasilkan harus memiliki etika sebagai pondasi dasarnya sekaligus estetika sebagai polesan karyanya. Karena manusia diciptakan sejatinya menyukai hal-hal baik menurut nuraninya serta menyukai keindahan yang mewarisi sifat Tuhan.

Wallahu A’alam.

 

*) Mahasiswa Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


 

DAFTAR PUSTAKA 

Praja, Juhaya S. Aliran- Aliran Filsafat dan Etika, 2003, Jakarta : Kencana.

Mufid, Muhammad. Etika dan  Filsafat Komunikasi, 2009, Jakarta : Kencana.

 

 



[1] Juhaya S. Praja, Aliran- Aliran Filsafat dan Etika, Kencana : Jakarta, 2003, hal 62.

[2] Muhamad Mufid, Etika dan  Filsafat Komunikasi , Kencana: Jakarta,2009, hal. 183.

[3] Ibid., hal. 184.

[4] Ibid., hal. 185.

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda ...

 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT