Setiap langkah,
bahkan setiap detik dalam kehidupan manusia tidak bisa bebas merdeka tanpa
beban apapun. Apalagi sebagai manusia normal yang hidup bermasyarakat baik di
lingkungan kampung maupun perkotaan. Baik itu ketika berada di lingkungan
perkuliahan mupun acara hajatan. Semua tentu memiliki norma dan adat yang perlu
diikuti menyesuaikan lingkungannya masing-masing. Terlebih bagi orang baru yang
datang ke suatu daerah. Adaptasi dalam pergaulan pun sangat dibutuhkan jika
ingin diterima dengan baik oleh lingkungan barunya. Begitu pula dengan seorang
influencer yang sejatinya ingin membuat perubahan. Khususnya perubahan yang
lebih baik. Tentu beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan barunya sangat
diperlukan.
Aturan-aturan dan
batasan dalam pergaulan inilah yang kemudian biasa kita sebut dengan etika.
Etika bisa diibaratkan Dos and Don’t’s (yang boleh dan tidak boleh
dilakukan). Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara (1962), etika ialah ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya,
teristimewa yang mengenahi gerak-gerik, pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan
perbuatan. Sedangkan pengertian etika dalam bahasa Yunani “ta etha”
bentuk jamaknya Ethos berarti adat kebiasaan. Aristoteles menyebutnya filsafat
moral, moral bahasa latinnya “Mos” jamaknya “Mores” artinya
Kebiasaan.
Suatu ukuran baik dan buruk sifatnya individual akan
dilihat dari orang yang menilainya, karena baik dan buruk itu terikat pada
ruang dan waktu, sehingga ia tidak berlaku secara universal. Suatu perbuatan
dinilai baik atau buruk dapat dilihat dari beberapa aliran-aliran berikut ini yang diuraikan oleh John C.
Merill (1975:79-88) yang dapat digunakan sebagai standar menilai tindakan etis,
antara lain Deontologis, Teleologis, Egoisme,
Utilitarisme dan Pragmatisme.
Pertama, Aliran Deontologis (Deon dari bahasa yunani
yang artinya harus atau wajib). Melakukan penilaian atas tindakan dengan
melihat tindakan itu sendiri. Artinya, suatu tindakan secara hakiki mengandung
nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada
jenis tindakan itu sendiri. Ada tindakan atau perilaku yang langsung
dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku yang langsung dinilai buruk. Ukuran
etis yang berbeda, dikemukakan oleh aliran teleologis
(telos berarti tujuan). Aliran ini melihat nilai etis bukan pada
tindakan itu sendiri, tetapi dilihat atas tindakan itu. Jika tujuannya baik
dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu digolongkan sebagai
tindakan etis. Jadi apabila suatu tindakan betujuan jelek, akan dikategorikan
tidak etis.[1]
Kedua, Aliran Egoisme menetapkan norma moral
pada akibat yag diperoleh oleh pelakunya sendiri. Artinya tindakan
dikategorikan etis dan baik, apabila menghasilkan terbaik bagi diri sendiri.[2]
Ketiga, Aliran Utilitarisme (dari kata utilitis yang artinya berguna) adalah
kebalikan dari paham egoisme,
yaitu yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang
banyak. Dengan demikian, tindakan itu tidak diukur dari kepentingan subyektif
individu, melainkan secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal
akibat baik dari tindakan itu, maka dipandang semakin etis.[3]
Keempat, aliran teleologis (telos
berarti tujuan). Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri,
tetapi dilihat atas tindakan itu. Jika tujuannya baik dalam arti sesuai dengan
norma moral, maka tindakan itu digolongkan sebagai tindakan etis. Jadi apabila
suatu tindakan betujuan jelek, akan dikategorikan tidak etis.
Terakhir, aliran Pragmatisme. Aliran
ini menitik beratkan pada hal yang berguna dari diri sendiri,baik yang bersifat
moril maupun materil. Serta menitikberatkan pada pengalaman, oleh karena itu
penganut ini tidak mengenal istilah kebenaran, sebab kebenaran itu bersifat
abstrak dan tidak diperoleh dalam dunia empiris.[4]
Demikian pula dengan yang estetika. Estetika dalam bahasa lain adalah
keindahan, nilai seni dan enak dipandang. Selain etika di atas, influencer pun
hendaknya memiliki estetika dalam mempengaruhi orang lain. Estetika bisa dalam
penampilan dan juga sikap. Dalam hal penampilan atau kemasan, bisa dibuat dan
dibentuk sedemikian rupa supaya terlihat menarik. Namun dari segi sikapnya,
seorang influencer pula diharapkan memiliki inner beauty. Inner beauty sendiri
bukan hanya disematkan kepada seorang perempuan karena terdapat kata ‘beauty’
yang berarti cantik. Namun lebih kepada sikap atau akhlak dalam diri
seseorang. Sehingga tidak hanya perempuan yang bisa disebut memiliki inner
beauty. Laki-laki pun sama saja. Namun dalam penampilan dan sikap yang
tentunya harus menyesuaikan dengan kodratnya sebagai lelaki pula.
Estetika dalam kemasan suatu produk influencer pun perlu diperhatikan.
Misal dalam membuat produk-produk komunikasi bagaimana cara supaya kemasan
menarik dilihat mata, dirasakan hati serta membaawa dampak positif bagi
konsumen atau penikmat produk seorang influencer. Konten-konten yang diproduksi
selain menjadi tontonan, juga diharapkan menjadi tuntunan yang dapat mendidik
anak bangsa. Tidak hanya mencari keuntungan semata (apalagi komersil). Meskipun
itu sangat sekali dihindari karena kebutuhan hidup yang semakin menghimpit.
Sekali lagi, bahwa bagi setiap influencer hendaknya memperhatikan Dos
and Donts tadi. Di mana dalam setiap tindakan atau karya yang dihasilkan
harus memiliki etika sebagai pondasi dasarnya sekaligus estetika sebagai
polesan karyanya. Karena manusia diciptakan sejatinya menyukai hal-hal baik
menurut nuraninya serta menyukai keindahan yang mewarisi sifat Tuhan.
Wallahu A’alam.
*) Mahasiswa Program Magister Komunikasi dan Penyiaran
Islam
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya
S. Aliran- Aliran Filsafat dan Etika, 2003, Jakarta : Kencana.
Mufid, Muhammad. Etika dan Filsafat Komunikasi, 2009, Jakarta : Kencana.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...