Dalam sebuah kaidah ushul fiqih dikatakan Almasyaqqatu tajlibut taisira“Suatu kesulitan atau kesempitan akan menarik kemudahan.” Kaidah ini dapat pula terapkan di tengah pandemi
saat ini. Bahwasanya dalam beribadah di tengah wabah saat ini setiap muslim
harus bisa menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang sudah
dibuat. Dalam hal ini merupakan
aturan pemerintah atau ulil amri. Di samping itu, umat Islam pun harus
tetap melaksanakan kewajiban syari’at yang berbenturan dengan pandemi saat ini.
Karena inilah kemudian ulama menjadi rujukan
masyarakat agar memberikan pedoman atau lebih tepatnya petunjuk dalam
beribadah, khususnya pada bulan Ramadhan tahun ini. Pasalnya, para ahli kesehatan dalam upaya memutus rantai penyebaran virus memberikan aturan
atau protokol kesehatan seperti dengan tidak boleh berkerumunan, bersalaman serta kontak fisik dengan orang lain. Inilah kemudian berakibat dengan tata cara ibadah umat Islam secara normal termasuk pendirian shalat Jum’at misalnya. Seperti diketahui bahwa pendirian shalat Jum’at menurut madzhab Syafi’i
minimal adalah 40 orang dewasa serta mustauthin (menetap).
Hal inilah kemudian membuat ulama agar memberikan solusi dari permasalahan yang ada. Melihat
situasi pandemi yang kian menjadi namun ibadah juga merupakan sesuatu yang
mutlaq dilaksanakan selaku umat beragama, khususnya umat Islam. Apalagi
kewajiban shalat wajib yang hukumnya fardlu ‘Ain. Bahkan selama nyawa masih
melekat di badan, kewajiban syari’at berupa shalat ini harus tetap dilakukan.
Dengan melihat literatur serta mempertimbangkan berbagai hal, kemudian menghasilkanlah rumusan fiqih yang dapat meringankan umat dan lebih solutif. Pendirian shalat Jum’at di suatu daerah pun
akhirnya sesuai dengan kondisi masing-masing daerah tersebut. Jika suatu daerah
masih dianggap aman dan belum ada warganya yang masuk kriteria ODP, maka
pendirian shalat Jum’at pun diperbolehkan. Namun sebaliknya, jika sudah masuk dalam kriteria zona merah dan berpotensi berbahaya, maka shalat Jum’at pun ditiadakan.
Meskipun diperbolehkan, namun dalam
pelaksanaannya shalat Jum’at pun mesti mematuhi prtokol kesehatan semisal
dengan jarak minimal satu meter, tidak perlu jabat tangan dan memakai masker
dan sebagainya. Begitulah, selain harus mematuhi kebijakan pemerintah atau ulil
amri, juga harus meminta petunjuk kepada para ahli agama atau ulama. Sesuai
dengan sabda Nabi SAW, “Ikutilah para Ulama. Sesungguhnya mereka adalah
pelita dunia dan penerang akhirat.” Demikian Rasulullah bersabda, saking
pentingnya ulama sebagai panutan dan cahaya umat. Terutama dalam urusan akhirat
atau ibadah kepada Allah.
Saat ini, kita sebagai
mukmin sedang menjalankan salah satu kewajiban agama yang berupa puasa Ramadhan
sebulan penuh. Selain menjalankan kewajiban berupa puasa, di dalam bulan
Ramadhan pun banyak ibadah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan.
Seperti shalat tarawih, memperbanyak membaca Al-Qur’an, sedekah, dan lain
sebagainya. Namun dalam pelaksanaannya dikarenakan bertepatan pula dengan pandemic
ini, sehingga kegiatan pun tidak berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi yang melibatkan banyak orang seperti shalat Tarawih berjamaah.
Ibadah-ibadah yang melibatkan banyak
orang pun dilarang. Sehingga kemudian pemerintah menganjurkan shalat Tarawih
dan tadarus dilakukan di rumah saja. Bahkan di beberapa daerah sudah menerapkan
aturan dan sanksi yang jelas bagi warganya yang melanggar. Karena memang
menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafsi) merupakan kewajiban, selain
juga menjalankan ibadah. Itulah salah satu tujuan dari adanya syari’at (Maqashidus
Syari’ah).
Berat memang,
menjalankan ibadah yang biasanya dilakukan berjamaah dan lebih semangat,
sekarang menjadi sepi dan akhirnya kurang bersemangat. Namun yang terpenting
adalah bagaimana kita dapat menjaga keistiqomahannya, meskipun sedikit. Karena
sebuah hadits pun dikatakan, “Amal yang dicintai oleh Allah swt adalah amal
yang dilakukan dengan terus menerus sekalipun sedikit.” (H.R Bukhari
Muslim). Maka, fiqih di tangan para ulama yang tidak ekstrem (baca; kaku) dan tidak
selalu hanya mengedepankan tekstualitas, akan cenderung praktis dan dinamis
sesuai keadaan. Seperti halnya kondisi saat ini.
Tidak masalah
jika memang harus menjalankan shalat tarawih dan tadarus di rumah saja. Menjalankan
ibadah bersama keluarga, tadarus sendiri dan banyak hal dilakukan sendiri
maupun berjamaah di rumah. Ini semua dapat kita ambil hikmah dan kemudian
mensyukurinya. Karena sangat jarang kita bisa berkumpul keluarga saat bulan
Ramadhan. Seringnya berkumpul dengan keluarga adalah ketika lebaran. Itupun
hanya beberapa hari saja. Setelah itu kembali ke perantauan untuk rutinitas
kerja, sekolah dan sebagainya. Waktu bersama keluarga pun hanya sebentar.
Sehingga kesimpulannya adalah bahwa
umat Islam seharusnya tetap bersyukur dengan segala keadaan yang sedang
melanda, termasuk saat ini. Ketika pandemi sedang merajalela. Berat memang, bersyukur
dalam keadaan yang menghimpit dan di saat sulit. Namun sebagai seorang mukmin
sejati, sikap untuk selalu bersyukur haruslah menjadi pegangan hidup. Karena
sudah jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an,
وَإِذۡ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
“Dan (ingatlah
juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S Ibrahim
ayat 7)
Selain bersyukur dalam setiap
keadaan, manusia pun diperintahkan untuk berikhtiar dan agar senantiasa bisa
beribadah kepadaNya. Dalam masa-masa pandemi inilah kemudian diperlukan
petunjuk para ulama dalam menjalankan ibadah. Bahkan tak hanya itu, ulama pun
hendaknya bisa memberikan kesejukan dan ketenangan dalam menghadapi pandemi.
Sehingga apabila warga Muslim ingin selamat dan tenang hatinya maka hendaknya
tetap dekat dengan para ulama.
Sudah banyak doa dan amalan yang
bersumber dari Al-Qur’an, hadits, maupun kitab ulama terdahulu disampaikan para
ulama kepada kita. Sehingga selain berikhtiar secara dhohir, umat Islam juga
danjurkan untuk berikhtiar secara bathin atau berdoa. Dengan demikian, sudah
sempurnalah ikhtiar kita dalam menghadapi pandemi ini. Setelah ikhtiar
dilakukan, selanjutnya serahkan semuanya kepada Allah (tawakkal). Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَيَرۡزُقۡهُ
مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ
ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣
“Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”Semoga pandemi ini segera berakhir
dan semua aktifitas berjalan normal seperti sedia kala. Amiin.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...