Di era revolusi industri 4.0 saat ini, hampir semua kehidupan manusia dipengaruhi
oleh teknologi informasi dan ‘hidup’ dalam ruang-ruang virtual. Terutama
masyarakat perkotaan menengah ke atas dengan segudang aktivitas yang
melingkupinya. Bahkan juga masyarakat pedesaan semi perkotaan yang mulai
berkembang. Namun, tidak bisa dipungkiri pula masih banyak daerah di pelosok
bumi pertiwi ini yang belum menikmati dan merasakan teknologi informasi dan
ruang virtual.
Masih
banyak persoalan di daerah pelosok pedesaan, khususnya di luar Pulau Jawa.
Seperti yang penulis rasakan, di daerah
transmigrasi untuk sekedar pengetahuan atau bahkan akses teknologi dan
informasi masih sangatlah minim. Utamanya bagi masyarakat awam yang pendidikannya
hanya sampai tingkat dasar. Tentu mereka belum melek digital, bahkan sudah
sangat sulit jika harus belajar dari usia menjelang senja. Sedikit berbeda
dengan anak-anak mereka yang bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke luar
daerah, terutama ke Pulau Jawa. Peluang mendapat akses teknologi dan informasi tentu lebih luas jika dibandingkan di desa dengan keterbatasan sinyal
internet.
Di
daerah pelosok pedesaan, khususnya di daerah transmigrasi penulis, masalah
jaringan hingga saat ini menjadi suatu kendala penting. Baik jaringan telepon
maupun internet. Belum lagi akses transportasi serta finansial yang kebanyakan
masih bergantung dengan bidang pertanian. Belum
banyak yang beralih ke industri kreatif
rumahan maupun bisnis perdagangan layaknya daerah perkotaan. Bisa jadi masalah
utamanya adalah akses teknologi, transportasi dan informasi atau komunikasi.
Ruang
Virtual sebagai Ekosistem Baru Masyarakat
Ruang virtual saat ini bagaikan sudah menjadi
tempat hidup baru bagi mayoritas manusia kini, khususnya masyarakat melek
teknologi menengah ke atas di perkotaan. Tak
terkecuali pula masyarakat pedesaan di beberapa daerah yang sudah berkembang dan mulai melek teknologi informasi. Bukan di daerah yang masih bisa dikatakan tertinggal dari itu
semua.
Televisi yang dulu menjadi idola banyak orang, kini seakan sudah mulai
ditinggalkan karena media sosial dan media virtual sudah dalam genggaman.
Mencari informasi apapun sudah bisa dilakukan melalui sebuah perangkat kecil yang
biasa disebut smartphone atau telepon pintar. Bahkan saking pintarnya,
telepon bisa membodohkan manusia penggunanya. Pada intinya, gawai menjadi
sarana penting dan praktis bagi manusia zaman ini. Namun bukan berarti seluruh
masyarakat Indonesia sudah merasakan kemerdekaan teknologi dan informasi dengan
berbagai warna-warni di dalamnya. Masih banyak dari mereka yang masih terjajah dan buta akan media informasi. Gerakan literasi belum sampai kepada
mereka.
Bukan
perkara mudah memang. Membeli ruang virtual pun tidak murah. Perangkat yang
dibutuhkan pun lumayan mahal bagi masyarakat menengah ke bawah. Belum lagi soal transportasi yang masih
membutuhkan sentuhan para pemangku
kebijakan ataupun masalah keamanan dari para penjahat yang sudah
hilang akal
sehat. Masalah
inilah yang kiranya dapat menghambat laju perkembangan daerah pelosok pedesaan,
utamanya daerah luar Pulau Jawa. Dengan keterbatasan jaringan telepon atau internet, akses
transportasi yang sulit serta keamanan yang senantiasa mengincar tentu
memperlambat kemajuan suatu daerah.
Imbas
Keterbatasan Virtual
Dengan banyaknya keterbatasan tersebut,
sehingga membuat banyak masalah yang ada. Mulai perkembangan pendidikan,
kesehatan, ekonomi, sosial, budaya hingga politik pun menjadi terdampak.
Seperti contoh pada bidang pendidikan, akses jalan yang sulit tentu akan
membahayakan anak-anak berangkat ke sekolah. Jalan rusak, becek, berlumpur,
menjadi pemandangan biasa tatkala hujan datang.
Belum
lagi masalah saat ini bertambah dengan adanya pandemi yang merepotkan seluruh
negeri. Jika di daerah perkotaan masih teratasi dengan akses kesehatan yang
bisa dijangkau dengan mudah, informasi mengenai kesehatan dari pusat atau
daerah provinsi bisa dengan cepat didapatkan, hingga gerakan-gerakan sosial
yang lebih cepat datang ke rumah-rumah. Belum lagi dengan berbagai upaya dan
strategi jitu para ahli yang menyasar ke daerah perkotaan lebih mudah untuk
diterima dan dipraktekkan. Termasuk ketika halal bi halal virtual saat lebaran.
Semua bisa merasakan pertemuan meski tak berjabat tangan dan berpelukan. Itulah
rekayasa dunia virtual.
Namun
itu semua tidak berlaku dan masih sulit dirasakan masyarakat pelosok pedesaan.
Jaringan internet yang sulit, listrik yang sering padam, hingga mahalnya harga
kuota internet membuat pertemuan virtual seperti yang dilakukan masyarakat
perkotaan sangat sulit dilakukan. Kendala tiba-tiba listrik padam atau
kehilangan jaringan, sangat biasa bagi warga pelosok pedesaan. Jalinan
silaturrahim saat Hari Raya Idul Fitri yang ingin dibangun dalam ruang virtual pun menjadi batal. Kehangatan bersama orang banyak dalam dunia virtual pun tak
jadi sebuah penawar rindu. Sehingga, dengan sulitnya banyak akses di desa
pelosok ini apakah menjadi masalah fatal? Tentu saja. Jika pemerintah ingin
memeratakan pembangunan serta lebih cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah
klasik para transmigran dan pelosok pedesaan. Wallahu A’lamu.
Penulis adalah salah satu dari dari
sekian banyak orang desa yang
bersyukur bisa mendapat kesempatan mencicipi
rasanya pendidikan kuliah dan nyantri di Kota Yogyakarta yang kata banyak orang
Istimewa. J
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...