BREAKING

Minggu, 16 Agustus 2020

Keterbatasan Ruang Virtual ; Masalah Fatal?

 

Di era revolusi industri 4.0 saat ini, hampir semua kehidupan manusia dipengaruhi oleh teknologi informasi dan ‘hidup’ dalam ruang-ruang virtual. Terutama masyarakat perkotaan menengah ke atas dengan segudang aktivitas yang melingkupinya. Bahkan juga masyarakat pedesaan semi perkotaan yang mulai berkembang. Namun, tidak bisa dipungkiri pula masih banyak daerah di pelosok bumi pertiwi ini yang belum menikmati dan merasakan teknologi informasi dan ruang virtual.

            Masih banyak persoalan di daerah pelosok pedesaan, khususnya di luar Pulau Jawa. Seperti yang penulis  rasakan, di daerah transmigrasi untuk sekedar pengetahuan atau bahkan akses teknologi dan informasi masih sangatlah minim. Utamanya bagi masyarakat awam yang pendidikannya hanya sampai tingkat dasar. Tentu mereka belum melek digital, bahkan sudah sangat sulit jika harus belajar dari usia menjelang senja. Sedikit berbeda dengan anak-anak mereka yang bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke luar daerah, terutama ke Pulau Jawa. Peluang mendapat akses teknologi dan informasi tentu lebih luas jika dibandingkan di desa dengan keterbatasan sinyal internet.

            Di daerah pelosok pedesaan, khususnya di daerah transmigrasi penulis, masalah jaringan hingga saat ini menjadi suatu kendala penting. Baik jaringan telepon maupun internet. Belum lagi akses transportasi serta finansial yang kebanyakan masih bergantung dengan bidang pertanian. Belum banyak yang beralih ke industri kreatif rumahan maupun bisnis perdagangan layaknya daerah perkotaan. Bisa jadi masalah utamanya adalah akses teknologi, transportasi dan informasi atau komunikasi.

            Ruang Virtual sebagai Ekosistem Baru Masyarakat

Ruang virtual saat ini bagaikan sudah menjadi tempat hidup baru bagi mayoritas manusia kini, khususnya masyarakat melek teknologi menengah ke atas di perkotaan. Tak terkecuali pula masyarakat pedesaan di beberapa daerah yang sudah berkembang dan mulai melek teknologi informasi. Bukan di daerah yang masih bisa dikatakan tertinggal dari itu semua.

            Televisi yang dulu menjadi idola banyak orang, kini seakan sudah mulai ditinggalkan karena media sosial dan media virtual sudah dalam genggaman. Mencari informasi apapun sudah bisa dilakukan melalui sebuah perangkat kecil yang biasa disebut smartphone atau telepon pintar. Bahkan saking pintarnya, telepon bisa membodohkan manusia penggunanya. Pada intinya, gawai menjadi sarana penting dan praktis bagi manusia zaman ini. Namun bukan berarti seluruh masyarakat Indonesia sudah merasakan kemerdekaan teknologi dan informasi dengan berbagai warna-warni di dalamnya. Masih banyak dari mereka yang masih terjajah dan buta akan media informasi. Gerakan literasi belum sampai kepada mereka.

            Bukan perkara mudah memang. Membeli ruang virtual pun tidak murah. Perangkat yang dibutuhkan pun lumayan mahal bagi masyarakat menengah ke bawah.  Belum lagi soal transportasi yang masih membutuhkan sentuhan para pemangku kebijakan ataupun masalah keamanan dari para penjahat yang sudah hilang akal sehat. Masalah inilah yang kiranya dapat menghambat laju perkembangan daerah pelosok pedesaan, utamanya daerah luar Pulau Jawa. Dengan keterbatasan jaringan telepon atau internet, akses transportasi yang sulit serta keamanan yang senantiasa mengincar tentu memperlambat kemajuan suatu daerah.

            Imbas Keterbatasan Virtual

Dengan banyaknya keterbatasan tersebut, sehingga membuat banyak masalah yang ada. Mulai perkembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya hingga politik pun menjadi terdampak. Seperti contoh pada bidang pendidikan, akses jalan yang sulit tentu akan membahayakan anak-anak berangkat ke sekolah. Jalan rusak, becek, berlumpur, menjadi pemandangan biasa tatkala hujan datang.

            Belum lagi masalah saat ini bertambah dengan adanya pandemi yang merepotkan seluruh negeri. Jika di daerah perkotaan masih teratasi dengan akses kesehatan yang bisa dijangkau dengan mudah, informasi mengenai kesehatan dari pusat atau daerah provinsi bisa dengan cepat didapatkan, hingga gerakan-gerakan sosial yang lebih cepat datang ke rumah-rumah. Belum lagi dengan berbagai upaya dan strategi jitu para ahli yang menyasar ke daerah perkotaan lebih mudah untuk diterima dan dipraktekkan. Termasuk ketika halal bi halal virtual saat lebaran. Semua bisa merasakan pertemuan meski tak berjabat tangan dan berpelukan. Itulah rekayasa dunia virtual.

            Namun itu semua tidak berlaku dan masih sulit dirasakan masyarakat pelosok pedesaan. Jaringan internet yang sulit, listrik yang sering padam, hingga mahalnya harga kuota internet membuat pertemuan virtual seperti yang dilakukan masyarakat perkotaan sangat sulit dilakukan. Kendala tiba-tiba listrik padam atau kehilangan jaringan, sangat biasa bagi warga pelosok pedesaan. Jalinan silaturrahim saat Hari Raya Idul Fitri yang ingin dibangun dalam ruang virtual pun menjadi batal. Kehangatan bersama orang banyak dalam dunia virtual pun tak jadi sebuah penawar rindu. Sehingga, dengan sulitnya banyak akses di desa pelosok ini apakah menjadi masalah fatal? Tentu saja. Jika pemerintah ingin memeratakan pembangunan serta lebih cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah klasik para transmigran dan pelosok pedesaan. Wallahu A’lamu.

 

Penulis adalah salah satu dari dari sekian banyak orang desa yang bersyukur bisa mendapat kesempatan mencicipi rasanya pendidikan kuliah dan nyantri di Kota Yogyakarta yang kata banyak orang Istimewa. J

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda ...

 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT