Lirik lagu-lagu sendu mungkin akan mengiringi panjangnya malam ini. Sedari
tadi, berkecamuk dalam hati perasan-perasaan tentang ini dan itu. Bahkan soal
yang sedang terjadi di sini dan di sana.
Bayangan tragedi demi tragedi berkelayang di kepala. Peristiwa-peristiwa
apa saja pun tak mau kalah, ia terus saja merisaukan relung hati ini. Entah
mengapa tiba-tiba kerisauan ini mengajak jemari menari.
Tepatnya seminggu yang lalu, Aku sudah berada di kampungku. Kampung yang
mungkin hanya bisa dikatakan jauh dari ‘peradaban nasional’. Sebuah daerah yang
‘dianaktirikan’ atau bisa juga disebut korban dari kepentingan-kepentingan
dunia para manusia (baca;penguasa). Atau mungkin Aku saja yang terlalu
berlebihan. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Wabah di negeri ini (bahkan dunia) sedang mencoba keimanan dan ketegaran
umat manusia di muka bumi. Sekitar sebulan yang lalu belum seheboh dan
menggemparkan jika dibanding dengan keadaan hari ini. Wabah penyakit yang
kabarnya berasal dari Negeri Tirai Bambu itu sudah ‘mendunia’ hingga ke
pelosok-pelosok kampung.
Aku terpaksa pulang. Di samping alasan keselamatan dan keamanan (serta
kenyamanan), juga karena ingin melihat rumah dan keluarga. Meskipun ada
beberapa himbauan pemerintah untuk para perantau agar tidak mudik ke kampung
halaman dulu.
Namun di sisi lain, sebelum terlambat dan khawatir semakin menjadi parah,
aku memutuskan untuk pulang saja. Membantu apa yang bisa dibantu serta melihat
kondisi rumah di kampung. Meski juga banyak konsekuensi yang akan dihadapi.
Di kampung, Aku rasa masih banyak orang gagap teknologi dan informasi.
Wajar jika itu terjadi, karena pada umumnya mereka hanya melihat dari media
televisi. Aku hanya ingin mengatakan bahwa tak seharusnya semua orang panik dan
gagap terhadap informasi.
Cerdas dan selalu tenang serta waspada mungkin sikap lebih tepat untuk
keadaan saat ini. Doa dan tentu ikhtiar tak terlupa. Apa-apa yang disarankan
dari para ahli pun jangan dianggap remeh.
Baik dari ahli
Agama (Alim Ulama) dan para ahli kesehatan (dokter) serta dengan tetap
mengindahkan himbauan pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Itu saja.
Yang menjadi perasaan gundah gulanaku dan bahkan pertanyaan-pertanyaan yang
selalu muncul di benakku pada awal-awal bencana ini, mengapa ini terjadi di
saat-saat seperti ini? Terlebih di Indonesia, bangsa dengan seribu
kompleksivitasnya. Di saat agenda-agenda rutinan, harian, minggguan, bahkan
bulanan dan tahunan belum sempat tertata. Perkuliahan, Agenda Tahunan
Pesantren, Pendidikan di semua tingkatan, bahkan hingga menyentuh
majelis-majelis dzikir dan taklim.
Tak luput juga jamaah sholat di masjid dekat rumah dan sholat jum’at. Pun
tak lama lagi memasuki ramadhan disambung lebaran Idul Fitri dengan suasana
yang biasanya begitu sakral dan menggembirakan. Mengapa semua ini bisa terjadi?
Makhluk Allah sekecil dan selemah virus dapat memporak-porandakan dunia.
Sistem-sistem kehidupan pun terobrak abrik.
Di samping soal kesehatan, ekonomi, sosial, budaya bahkan politik pun tak
luput darinya. Virus (yang kabarnya juga) ini belum ditemukan vaksin serta
belum pernah ada di dunia ini bahkan mampu berpindah dari satu negara ke negara
lain. Buktinya, dari tempat lahirnya di Wuhan, China kini telah merambah ke
segala penjuru dunia.
Bahkan pelosok-pelosok kampung seperti kampungku ini. Meskipun belum ada
kabar ada yang terjangkit (doaku: bukan belum, tapi jangan sampai ini terjadi)
khususnya keluargaku. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat hingga
menjelang Ramadhan tiba dan bisa menikmati ketupat bersama keluarga.
Itulah pintaku dan pinta semua umat manusia di segala penjuru dunia. Wallahu A’lam.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...