“Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya
selain syurga”
(HR. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349)
Ada banyak alasan orang Islam pergi ke Tanah
Haramain untuk melaksanakan Ibadah Haji. Baik alasan ukhrawi maupun duniawi.
Alasan ukhrawi tentu yang didasarkan pada kewajiban agama, itupun bagi yang
sudah mampu melaksanakannya. Alasan ukhrawi yaitu sesuai pada banyak keterangan
dalam hadits dan Al-Qur’an. Sedangkan alasan duniawi mungkin saja untuk
menambah titel di depan nama atau mendapat status sosial yang lebih tinggi di
lingkungan masyarakatnya. Wallahu A’lam. Hanya Tuhan lah yang lebih mengetahui
hati manusia.
Ibadah
haji yang diwajibkan bagi orang Islam dan dilaksanakan setahun sekali merupakan
sebuah keistimewaan tersendiri. Pasalnya tidak mudah dan tidak murah untuk bisa
mencapai tanah suci dan kemudian melaksanakan perintah agama rukun terakhir ini.
Biaya yang harus dikeluarkan pun tak sedikit. Juga kondisi fisik pun harus fit dan
siap karena ibadah haji adalah ibadah yang lebih banyak menggunakan tenaga
ekstra. Rukun ibadah yang berupa fisik seperti sa’i, melempar jumroh, wukuf,
mabit, tahallul dan lainnya. Sebagian besar rukun haji adalah menggunakan
fisik. Inilah yang memberatkan bagi para orang tua yang berusia lanjut.
Haji
merupakan sebuah kewajiban yang tentunya tidak memaksakan semua umat Islam.
Namun dari segi kemampuan juga dipertimbangkan. Inilah yang kemudian dalam
ketentuan haji adalah bagi orang yang mampu. Baik dari fisik maupun biaya.
Namun ada juga yang mampu keduanya, namun tidak ada niat untuk melaksanakannya.
Banyak alasan memang. Mungkin karena sayang terhadap harta bendanya atau hal
lainnya. Inilah yang dimaksud dari ‘panggilan ilahi’. Karena panggilan ilahi
sendiri berhubungan dengan hati dan hidayah kepada seseorang. Bisa juga
dikarenakan hal lain yang lebih rumit seperti kesibukan hidup atau pekerjaan.
Kebijakan
Ibadah Haji Karena Pandemi
Kegalauan
dan kegelisahan mungkin menyelimuti para calon jamaah haji yang akan berangkat
di bulan Dzulhijjah tahun ini. Sebagaimana yang telah dimaklumi bersama bahwa
dikarenakan pandemi yang melanda dunia, keputusan dari Kementerian Agama di
berbagai negara melarang adanya haji
tahun ini. Semua itu demi memutus rantai penularan virus. Terlebih di Haramain
adalah tempat bertemunya para jamaah haji dari berbagai belahan dunia.
Berjuta-juta orang datang berjubel dan berkerumun. Sehingga dari segi kesehatan
potensi penularannya pun lebih tinggi.
Lalu
bagaimana dengan nasib 221 ribu lebih calon jamaah haji Indonesia yang gagal
berangkat tahun ini? Karena pemerintah Indonesia secara resmi telah mengumumkan
kebijakan ini pada Selasa, 2 Juni 2020 lalu. Bahkan tak hanya Indonesia, calon
jamaah haji dari berbagai negara pun mungkin demikian. Apakah calon jamaah haji
yang gagal berangkat itu tetap memperoleh titel haji mabrur?
Nilai
dalam Ibadah Haji
Haji
sendiri merupakan ibadah yang sarat akan simbol-simbol dalam ritualnya.
Filosofi atau makna dalam berhaji sendiri tidak jauh dengan apa yang menjadi
kisah Nabi Ibrahim alaihis salaam. Praktek ibadah haji merupakan
manifestasi kehidupan Nabi Ibrahim bersama istrinya Siti Hajar serta putranya
Nabi Ismail di Makkah. Seperti misalnya Sa’i merupakan lari-lari kecil Siti
Hajar untuk menemukan air dari Bukit Safa dan Marwah. Kemudian melempar Jumroh
adalah peristiwa ketika Iblis menggoda Nabi Ibrahim tatkala akan menyembelih
putranya sesuai dengan perintah Allah. Iblis menggoda supaya perintah dari
Allah tersebut tidak dilaksanakannya. Sehingga sesuai perintah Allah, Nabi
Ibrahim melempari Iblis tersebut dengan batu.
Dalam
sebuah hadits Hasan, Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani menjelaskan bahwa ciri
haji mabrur sendiri ada tiga yang semuanya mengandung pesan sosial bagi sesama.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang kebaikan (Albirru) dalam
haji. Beliau menjawab, ith’amut tha’aam (memberi makan), ifsya’us
salaam (menebarkan kedamaian) dan thayyibul kalaam (bagusnya
perkataan). Pada intinya manusia harus berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama.
Inilah yang kemudian sebagai para calon jamaah haji yang gagal berangkat tahun
ini dapat mengambil makna dalam ibadah haji.
Sehingga
apabila nila-nilai kebaikan (albirru) dalam haji tersebut dapat diemplementasikan
dengan memberi makan (ith’amut tha’aam) atau bisa juga pada sektor
kesehatan dengan memberikan APD bagi relawan yang menangani pasien di rumah sakit.
Sehingga kemudian akan muncul Ifsya’us salaam (menebarkan kedamaian atau
keselamatan). Terakhir, thayyibul kalaam (bagusnya perkataan) berarti
juga dengan tidak menyebar informasi bohong atau hoax di media sosial.
Kisah Haji
Mabrur Karena Berderma
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa pada
intinya ada seseorang yang gagal berangkat haji karena ongkosnya diberikan
kepada orang yang lebih membutuhkan. Namun karena yang dilakukan itu, ia justru
menjadi haji mabrur. Bahkan dikarenakan doa orang tersebut, jamaah haji yang
lain ikut menjadi haji mabrur pula. Orang tersebut bernama Muwaffaq yang
tinggal di Damaskus. Ia hanyalah seorang pedagang sepatu yang mengumpulkan
biaya haji selama kurang lebih 40 tahun. Kisah ini diceritakan langsung oleh
Muwaffaq kepada Abdullah bin Mubarrak (118-181 H/726-797 M), seorang ulama
Marwaz, Khurasan yang mendambakan dua hal dalam ibadah yakni haji dan jihad.
Di
masa pandemi seperti ini, harapan menjadi mabrur bagi para calon jamaah haji
bisa saja terwujud jika kita melihat kisah Muwaffaq di atas. Mendapat predikat
haji mabrur meski tak jadi berangkat ke tanah suci lantaran lebih mementingkan
orang lain yang kelaparan dan kesusahan. Di masa pandemi seperti ini tentu
banyak juga orang-orang yang merasa kesusahan dan kesulitan ekonomi. Terutama
mereka yang berpenghasilan pas-pasan dan bergantung pada gaji harian. Dampak
pandemi ini bahkan dirasakan kalangan menengah ke atas. Apalagi kaum bawah yang
ketika hari-hari biasa saja penghasilan mereka sangat minim dan kekurangan.
Maka dari itu, bagi para calon jamaah haji hendaknya bisa mengambil hikmah akan adanya pandemi seperti ini. Meski belum bisa berangkat tahun ini, alangkah lebih baiknya harta yang ada digunakan untuk menolong sesama di sekitar lingkungan tempat tinggal. Terutama bagi mereka yang terdampak dan semakin terhimpit masalah ekonomi. Karena jika dilihat dari segi katanya, Mabrur adalah isim maf’ul (objek) dari akar kata albirru yang berarti ‘kebaikan’ sehingga alhajjul mabruru dapat diartikan dengan ‘haji yang diberi kebaikan’. Semoga dengan mengambil semangat kemabruran ini, kita semua mendapat pahala mabrur sebelum atau tanpa haji. Wallahu A’lam.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...