BREAKING

Rabu, 12 Agustus 2020

Berbicara Literasi dan Mencari Solusi

 



Iqra’ ! (bacalah !). Itulah perintah pertama Tuhan kepada Nabi. Ayat pertama yang diwahyukan adalah perintah membaca. Terlepas dari bisa atau tidaknya Nabi membaca dan kisah selanjutnya, namun yang jelas jika dlihat dari perintahnya, membaca merupakan satu kegiatan yang sangat penting. Karena perintah Tuhan pertama kali adalah MEMBACA. Demikianlah saking pentingnya membaca, sehingga Tuhan mewahyukan ayat pertama dengan kata ‘bacalah’.

Membaca bisa dalam hal apa saja. Yang paling umum dan sederhana dipahami adalah membaca sebuah tulisan. Mulai dari anak TK hingga perguruan tinggi pun sangat paham dengan satu istilah membaca yang satu ini. Namun bisa juga membaca dipahami dengan yang lain. Misal dengan membaca pikiran, membaca situasi, membaca psikologi seseorang hingga membaca alam. Terlalu jauh memang, jika harus membahas membaca dengan pengertian ‘yang lain’. Baiklah, di sini penulis hanya akan membahas mengenai membaca sebuah tulisan. Bisa juga bahan bacaan yang berupa buku konvensional maupun non konvensional (baca; buku elektronik). Karena seiring dengan berkembang pesatnya teknologi saat ini, tulisan atau bacaan tak hanya tersedia dalam buku dan koran yang berbentuk kertas saja. Saat ini buku, koran, majalah dan tabloid pun sudah dengan mudahnya berada dalam genggaman. Internet dan media smartphone adalah sepasang perangkat perantara untuk ‘membaca’ itu.

Melihat Dunia dengan Membaca

Ada sebuah pepatah mengatakan, buku adalah jendela dunia. Pepatah ini sudah dikenalkan pada anak-anak sekolah usia sekolah dasar. Memang benar, bahwa dengan membaca buku bisa menambah wawasan dan ilmu. Ilmu pengetahuan dulu disediakan dari buku-buku dan guru di sekolah. Namun saat ini zaman telah berubah. Buku seakan tergeser oleh perangkat elektronik berupa smartphone atau telepon pintar yang berpadu dengan internet. Buku sudah dengan mudahnya diakses melalui genggaman. Buku-buku elektronik membanjiri dunia internet.

Meski demikian, bukan berarti buku-buku konvensional tak lagi berguna dan tersisih sama sekali. Menurut penulis, membaca sebuah buku memiliki sensasi tersendiri. Dengan membuka lembar perlembar sebuah buku yang dipegang serta gerakan tangan adalah bentuk dari olahraga tangan dan otak yang tak bisa tergantikan oleh telepon pintar. Berbeda degan membaca ebook atau buku elektronik yang terdapat pada telepon pintar.

Namun, bukan berarti lebih mengunggulkan salah satunya. Tentulah kedua media itu memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Keunggulan dari sebuah buku konvensional seperti yang telah disebutkan di atas yaitu lebih memiliki sensasi tersendiri, cenderung tidak berbahaya bagi mata jika dibandingkan dengan radiasi layar smartphone serta lebih murah ketimbang harus membeli smartphone dahulu. Sedangkan kelemahannya tidak bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana (misal dengan dimasukkan saku) dan mudah rusak jika terkena air hingga dari segi keawetannya pun tidak bertahan lama. Itupun tergantung perawatannya.

Pada ebook atau buku berbentuk elektronik pun memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan ebook jika dibandingkan dengan buku kertas adalah lebih fleksibel atau mudah dibawa dalam saku, lebih awet (tergantung perawatan smartphonenya). Selain itu juga, e-book harganya murah dan mudah mendapatkannya karena ada beberapa sumber bacaan dapat diunduh gratis melalui internet. Kelemahan pada ebook ialah pada lebih beresiko dalam segi kesehatan mata pembacanya karena bertatapan langsung dengan layar smartphone atau laptop. Selain itu juga untuk membeli perangkat elektroniknya tentu lebih mahal.

Kondisi Pembaca Kita Saat ini

Jika kita melihat keadaan pembaca kita saat ini, sungguh miris. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada Tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia, kebiasaan membaca di negara kita tergolong sangat rendah. Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat di atas Botswana. Menurut Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), salah satu penyebab mengapa minat baca masyarakat kita rendah adalah karena kurangnya akses untuk dapat membaca, terutama di daerah-daerah terpencil.

Selain karena akses, faktor lainnya adalah dimensi kecakapan, alternatif dan budaya. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Balitbang Kemendikbud, dimensi kecakapan dilihat dari indikator pembaca seperti buta aksara dan rata-rata lama sekolah. Pada dimensi akses terdiri dari perpustakaan di sekolah, daerah, komunitas ataupun perpustakaan umum. Dimensi alternatif pada yang selain konvensional atau penggunaan internet, membaca daring dan media online. Sedangkan dimensi budaya dimaknai sebagai bagian dari kebiasaan membaca, misalnya meminjam buku di perpustakaan sekolah, meminjam teman atau membaca koran dan buku (sumber : www.kompas.com).

Masalah akses ini tentu akan berkorelasi dengan kebiasaan atau budaya. Kalau tidak ada akses, bagaimana akan bisa membaca. Terutama di daerah terpencil yang jauh dari toko-toko buku karena pengiriman buku sangat jauh dan mahal. Namun sebenarnya bisa diatasi dengan cara mengakses buku-buku elektronik melalui internet dengan telepon pintar para guru dan kemudian para siswa membaca bersama di proyektor sekolah, misalnya. Seperti yang telah diungkapkan Lukman Sholihin selaku Peneliti di Balitbang Kemendikbud dalam sebuah diskusi pada Juni Tahun 2019 lalu.

Menumbuhkan Kesadaran Membaca Sejak Dini

Diperlukan latihan agar anak menjadi senang membaca. Selain itu pula peran kedua orang tua sangat menentukan kebiasaan membaca anak. Pendidikan di sekolah pun harusnya turut berperan. Peran pemerintah juga tak kalah pentingnya. Semua pihak harus memainkan perannya masing-masing. Orang tua mendidik dan membiasakan anak agar senang membaca ketika di rumah. Para guru serta lembaga pendidikan pun hendaknya senantiasa menekankan anak didiknya agar sering membaca. Tak terkecuali pemerintah dengan segala wewenang serta kebijakannya. Perbanyak perpustakaan di daerah-daerah, pusat-pusat kegiatan publik serta tempat umum hingga perpustakaan keliling yang lebih ‘jemput bola’ meghampiri masyarakat. Terutama di daerah-daerah pelosok dan terpencil yang jauh dari akses pendidikan.

Literasi Melalui Digital Sebagai Solusi

Membaca tak harus dengan memiliki buku atau memiliki telepon pintar dan komputer. Namun mengusahakan dengan apa saja yang ada di sekitar kita. Dengan segala keterbatasan, bukan berarti menyerah dan berhenti membaca. Banyak hal yang bisa dilakukan jika memang ke 4 faktor masalah membaca di daerah kita tadi terjadi. Yang bisa diusahakan misal dengan memaksimalkan lembaga pendidikan yang ada di sekolah-sekolah. Dengan kerja sama antara guru di sekolah dan para orang tua murid misalnya. Ditambah lagi kepedulian pemerintah desa dalam menciptakan akses membaca bagi masyarakatnya terutama para siswa sekolah. Jika memang benar-benar sangat sulit, bisa kemudian mengadukan ke tingkat pemerintah yang lebih tinggi. Misal ke tingkat kecamatan atau kabupaten dengan alasan sangat sulit untuk dapat mengakses pendidikan, khususnya sumber bacaan.

Namun sebenarnya kondisi itu semua sangat jarang terjadi, kecuali jika memang daerah-daerah tersebut yang sangat jauh dari perkotaan dan akses menuju pemerintahan. Di mana komunikasi dan transportasi menjadi masalah utama. Daerah-daerah yang disebut dengan daerah 3 T, Tertinggal, Terdepan dan Terluar. Semoga saja negara kita lebih peduli lagi terhadap masalah literasi ini. Terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan tangan pemerintah. Jauh dari pemerintah daerah apalagi pusat. Tetap optimis saja dalam mejalani kehidupan ini. Bangsa dan negara tentu memikirkan kesejahteraan rakyatnya, termasuk soal literasi dan pendidikan tadi. Semoga.

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda ...

 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT