Iqra’ ! (bacalah !). Itulah perintah pertama
Tuhan kepada Nabi. Ayat pertama yang diwahyukan adalah perintah membaca.
Terlepas dari bisa atau tidaknya Nabi membaca dan kisah selanjutnya, namun yang
jelas jika dlihat dari perintahnya, membaca merupakan satu kegiatan yang sangat
penting. Karena perintah Tuhan pertama kali adalah MEMBACA. Demikianlah saking
pentingnya membaca, sehingga Tuhan mewahyukan ayat pertama dengan kata
‘bacalah’.
Membaca bisa dalam hal apa saja. Yang paling
umum dan sederhana dipahami adalah membaca sebuah tulisan. Mulai dari anak TK
hingga perguruan tinggi pun sangat paham dengan satu istilah membaca yang satu
ini. Namun bisa juga membaca dipahami dengan yang lain. Misal dengan membaca
pikiran, membaca situasi, membaca psikologi seseorang hingga membaca alam.
Terlalu jauh memang, jika harus membahas membaca dengan pengertian ‘yang lain’.
Baiklah, di sini penulis hanya akan membahas mengenai membaca sebuah tulisan.
Bisa juga bahan bacaan yang berupa buku konvensional maupun non konvensional (baca;
buku elektronik). Karena seiring dengan berkembang pesatnya teknologi saat ini,
tulisan atau bacaan tak hanya tersedia dalam buku dan koran yang berbentuk
kertas saja. Saat ini buku, koran, majalah dan tabloid pun sudah dengan
mudahnya berada dalam genggaman. Internet dan media smartphone adalah
sepasang perangkat perantara untuk ‘membaca’ itu.
Melihat Dunia
dengan Membaca
Ada sebuah pepatah mengatakan, buku adalah
jendela dunia. Pepatah ini sudah dikenalkan pada anak-anak sekolah usia sekolah
dasar. Memang benar, bahwa dengan membaca buku bisa menambah wawasan dan ilmu.
Ilmu pengetahuan dulu disediakan dari buku-buku dan guru di sekolah. Namun saat
ini zaman telah berubah. Buku seakan tergeser oleh perangkat elektronik berupa smartphone
atau telepon pintar yang berpadu dengan internet. Buku sudah dengan mudahnya
diakses melalui genggaman. Buku-buku elektronik membanjiri dunia internet.
Meski demikian, bukan berarti buku-buku konvensional
tak lagi berguna dan tersisih sama sekali. Menurut penulis, membaca sebuah buku
memiliki sensasi tersendiri. Dengan membuka lembar perlembar sebuah buku yang
dipegang serta gerakan tangan adalah bentuk dari olahraga tangan dan otak yang
tak bisa tergantikan oleh telepon pintar. Berbeda degan membaca ebook atau
buku elektronik yang terdapat pada telepon pintar.
Namun, bukan berarti lebih mengunggulkan salah
satunya. Tentulah kedua media itu memiliki keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. Keunggulan dari sebuah buku konvensional seperti yang telah
disebutkan di atas yaitu lebih memiliki sensasi tersendiri, cenderung tidak
berbahaya bagi mata jika dibandingkan dengan radiasi layar smartphone
serta lebih murah ketimbang harus membeli smartphone dahulu. Sedangkan
kelemahannya tidak bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana (misal dengan
dimasukkan saku) dan mudah rusak jika terkena air hingga dari segi keawetannya
pun tidak bertahan lama. Itupun tergantung perawatannya.
Pada ebook atau buku berbentuk
elektronik pun memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan ebook jika
dibandingkan dengan buku kertas adalah lebih fleksibel atau mudah dibawa dalam
saku, lebih awet (tergantung perawatan smartphonenya). Selain itu juga, e-book
harganya murah dan mudah mendapatkannya karena ada beberapa sumber bacaan
dapat diunduh gratis melalui internet. Kelemahan pada ebook ialah pada
lebih beresiko dalam segi kesehatan mata pembacanya karena bertatapan langsung
dengan layar smartphone atau laptop. Selain itu juga untuk membeli
perangkat elektroniknya tentu lebih mahal.
Kondisi Pembaca
Kita Saat ini
Jika kita melihat keadaan pembaca kita saat
ini, sungguh miris. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada Tahun 2016
terhadap 61 negara di dunia, kebiasaan membaca di negara kita tergolong sangat
rendah. Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat di atas Botswana. Menurut
Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), salah satu penyebab mengapa minat baca masyarakat
kita rendah adalah karena kurangnya akses untuk dapat membaca, terutama di
daerah-daerah terpencil.
Selain karena akses, faktor lainnya adalah
dimensi kecakapan, alternatif dan budaya. Sebagaimana penelitian yang telah
dilakukan oleh Balitbang Kemendikbud, dimensi kecakapan dilihat dari indikator
pembaca seperti buta aksara dan rata-rata lama sekolah. Pada dimensi akses
terdiri dari perpustakaan di sekolah, daerah, komunitas ataupun perpustakaan
umum. Dimensi alternatif pada yang selain konvensional atau penggunaan
internet, membaca daring dan media online. Sedangkan dimensi budaya dimaknai
sebagai bagian dari kebiasaan membaca, misalnya meminjam buku di perpustakaan
sekolah, meminjam teman atau membaca koran dan buku (sumber : www.kompas.com).
Masalah akses ini tentu akan berkorelasi
dengan kebiasaan atau budaya. Kalau tidak ada akses, bagaimana akan bisa membaca.
Terutama di daerah terpencil yang jauh dari toko-toko buku karena pengiriman
buku sangat jauh dan mahal. Namun sebenarnya bisa diatasi dengan cara mengakses
buku-buku elektronik melalui internet dengan telepon pintar para guru dan
kemudian para siswa membaca bersama di proyektor sekolah, misalnya. Seperti
yang telah diungkapkan Lukman Sholihin selaku Peneliti di Balitbang Kemendikbud
dalam sebuah diskusi pada Juni Tahun 2019 lalu.
Menumbuhkan
Kesadaran Membaca Sejak Dini
Diperlukan latihan agar anak menjadi senang
membaca. Selain itu pula peran kedua orang tua sangat menentukan kebiasaan
membaca anak. Pendidikan di sekolah pun harusnya turut berperan. Peran pemerintah
juga tak kalah pentingnya. Semua pihak harus memainkan perannya masing-masing.
Orang tua mendidik dan membiasakan anak agar senang membaca ketika di rumah.
Para guru serta lembaga pendidikan pun hendaknya senantiasa menekankan anak
didiknya agar sering membaca. Tak terkecuali pemerintah dengan segala wewenang
serta kebijakannya. Perbanyak perpustakaan di daerah-daerah, pusat-pusat
kegiatan publik serta tempat umum hingga perpustakaan keliling yang lebih
‘jemput bola’ meghampiri masyarakat. Terutama di daerah-daerah pelosok dan
terpencil yang jauh dari akses pendidikan.
Literasi
Melalui Digital Sebagai Solusi
Membaca tak harus dengan memiliki buku atau
memiliki telepon pintar dan komputer. Namun mengusahakan dengan apa saja yang
ada di sekitar kita. Dengan segala keterbatasan, bukan berarti menyerah dan
berhenti membaca. Banyak hal yang bisa dilakukan jika memang ke 4 faktor
masalah membaca di daerah kita tadi terjadi. Yang bisa diusahakan misal dengan
memaksimalkan lembaga pendidikan yang ada di sekolah-sekolah. Dengan kerja sama
antara guru di sekolah dan para orang tua murid misalnya. Ditambah lagi
kepedulian pemerintah desa dalam menciptakan akses membaca bagi masyarakatnya
terutama para siswa sekolah. Jika memang benar-benar sangat sulit, bisa
kemudian mengadukan ke tingkat pemerintah yang lebih tinggi. Misal ke tingkat
kecamatan atau kabupaten dengan alasan sangat sulit untuk dapat mengakses
pendidikan, khususnya sumber bacaan.
Namun sebenarnya kondisi itu semua sangat jarang terjadi, kecuali jika memang daerah-daerah tersebut yang sangat jauh dari perkotaan dan akses menuju pemerintahan. Di mana komunikasi dan transportasi menjadi masalah utama. Daerah-daerah yang disebut dengan daerah 3 T, Tertinggal, Terdepan dan Terluar. Semoga saja negara kita lebih peduli lagi terhadap masalah literasi ini. Terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan tangan pemerintah. Jauh dari pemerintah daerah apalagi pusat. Tetap optimis saja dalam mejalani kehidupan ini. Bangsa dan negara tentu memikirkan kesejahteraan rakyatnya, termasuk soal literasi dan pendidikan tadi. Semoga.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...