Penduduk
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk keempat terbesar dunia
setelah Cina, India, dan
Amerika. Jumlahnya mencapai 294,9 juta jiwa menurut data terbaru PBB pada tahun
2013. Dengan jumlah jiwa yang begitu besar itu, penduduknya pun tidak semuanya
berasal dari orang-orang pribumi asli, melainkan ada
beberapa etnis dari luar pribumi yang ikut mendiami wilayah Indonesia dan
bahkan ikut andil dalam pembangunan negeri ini.
Kurang lebih ada 1.340 etnis
suku bangsa pribumi yang ada di Indonesia menurut data BPS tahun 2010. Beberapa
etnis luar pribumi yang ada di Indonesia seperti Arab,
India, dan Tionghoa. Dari sekian banyak etnis itu, salah satu etnis non-pribumi
yang sampai saat ini masih terus eksis keberadaanya yaitu etnis Tionghoa.
Etnis dengan Jumlah besar
Menurut data sensus penduduk tahun 2000, etnis Tionghoa di Indonesia
menempati urutan ketiga setelah Jawa dan Sunda dengan jumlah jiwa mencapai
7,776 juta. Adapun daerah penyebarannya meliputi Jabodetabek,
Bandung,
Kalimantan Barat, Surabaya,
Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, Medan, Bagan
Siapi-api, Jambi, Palembang, Makassar, dan Manado.
Luasnya daerah
penyebarannya di Indonesia menjadikan etnis Tionghoa semakin menunjukkan
eksistensinya.
Sama seperti etnis lain pada umumnya, ada banyak bidang yang ditekuni oleh
masyarakat Tionghoa. Mulai dari bidang politik pemerintahan, entertainment,
penulis, pengusaha, dan lain sebagainya. Di bidang
politik dan pemerintahan, sebut saja Basuki Tjahja
Purnama yang dikenal dengan nama Ahok, pernah menjabat
Bupati Belitung Timur Periode 2005-2006 dan saat ini menempati kursi Gubernur DKI
Jakarta. Andrie Wongso, Mario Teguh, dan Tung Desem Waringin adalah nama yang
dikenal sebagai motivator. Soe Hok Gie dikenal sebagai aktivis mahasiswa pada
zamannya. Chris John petinju legendaris Indonesia ini juga beretnis Tionghoa.
Jakob Oetama yang merupakan pendiri dan pemimpin surat kabar nasional Kompas.
Hary Tanoesoedibjo memimpin perusahaan media MNC Group. Masih banyak etnis
Tionghoa di negeri ini yang ikut berperan mengisi kemerdekaan melalui bidang
yang ditekuni masing-masing.
Peran dalam Kemerdekaan Indonesia
Warga Tionghoa
juga memiliki andil dalam membantu perlawanan Indonesia terhadap penjajahan
Kolonial Belanda waktu itu dengan menjadi pemasok persenjataan. Bahkan presiden
ke-5 RI, Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur pun pernah mengatakan
bahwa ia berdarah Tionghoa. Ia mengaku keturunan dari Tan Kim Han yang menikah
dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok
yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian
berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Liku-liku
Perjalanan
Perjalanan Etnis Tionghoa menuju ‘pengakuan’
di Indonesia mengalami masa-masa yang tidak mudah dan butuh waktu lama.
Etnis Tionghoa yang dulu disebut Chines Overseas atau Tionghoa
perantauan mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-19 dan ke-20. Pada waktu
ketika Tiongkok dan Asia Tenggara mengalami perubahan. Leo Suryadinata, dalam
bukunya “Negara dan Etnis Tionghoa, Kasus Indonesia” menyebutkan ada dua faktor
masuknya orang-orang Tionghoa masuk ke Indonesia. Faktor ini dibagi menjadi
faktor pendorong dan faktor penarik.
Kekacauan, kemiskinan, dan kepadatan
penduduk di daratan Tiongkok mendorong mereka meninggalkan negeri leluhurnya,
sedangkan kolonialisasi Barat di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan
pembukaan wilayah ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Lowongan kerja dan
kesempatan ini menarik etnis Tionghoa ke daerah yang dulu dikenal sebagai
Nanyang. Nanyang adalah istilah Tionghoa yang berarti Samudera Selatan.
Pada masa orde
baru, etnis Tionghoa masih dibatasi kebebasannya dalam aktivitas berbangsa dan
bernegara. Dalam bidang budaya misalnya, pemerintah orde baru seakan ingin
mengikis habis kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Bukan saja tidak mengizinkan
orang mengamalkan tradisi dan adat istiadatnya secara publik, tetapi juga tidak
boleh merayakan tahun baru imlek dan cap go meh tidak boleh main
barongsai, agama Konghucu tidak diakui,
belajar bahasa Mandarin tidak diperbolehkan, koran dan
publikasi bahasa Mandarin tidak diizinkan, dan semua kelenteng harus diubah
menjadi wihara. Sungguh
sangat miris jika melihat sistem demokrasi negara
Indonesia sebagai negara
demokrasi ada saat itu.
Tionghoa
Mulai diakui di Indonesia
Setelah
jatuhnya rezim Orde Baru, tepatnya setelah Gus Dur menggantikan Soeharto
menjadi presiden, kebijakan baru pun ditetapkan. Gus Dur menerbitkan
Inpres No. 14 tahun1967. Hal ini merupakan satu langkah penting karena gerbang
demokrasi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia telah dibuka. Jika pada masa
Orde Baru masyarakat Tionghoa masih terasing maka pada awal pemerintahan
Gus Dur ini menjadi semakin diterima di kalangan masyarakat Pribumi. Peran Gus
Dur ini menjadikan ia dijuluki sebagai Bapak Pluralis atau Multikulturisme
Indonesia oleh Presiden
SBY. Hal ini karena Gus Dur selalu mengusung nilai-nilai toleransi, demokratis,
inklusif, dan damai saat beliau menjadi presiden.
Dengan
adanya kebijakan tersebut, hendaknya tidak ada lagi perpecahan antara penduduk
pribumi dengan non-pribumi (etnis Tionghoa) ini. Begitu pula etnis Tionghoanya
sendiri harus melakukan pembenahan dan sebagai ungkapan ‘terima kasih’ pula
hendaknya bisa bekerja sama dengan pribumi. Sehingga tercipta toleransi yang
tinggi dan menjadikan keadaan yang semakin membaik baik bagi penduduk pribumi
maupun dari etnis Tionghoa sendiri. Dengan berbekal kebhinekaan yang utuh
diharapkan Nusantara
menjadi sebuah Negara yang digdaya karena persatuan warganya.
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...