BREAKING

Sabtu, 11 Januari 2020

Dakwah Santun dan Menuntun (Sebuah Refleksi Perjalanan Dakwah Almaghfurlah KH. Najib Salimi Yogyakarta)


Almaghfurlah KH. Najib Salimi Mamba'ul Ulum




ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125).
***
Mungkin kita sudah sering membaca atau mendengar ayat di atas. Ayat tersebut merupakan salah satu yang dijadikan pegangan wajib bagi seorang penyampai kebenaran, sebagai seorang pendakwah atau biasa disebut dengan Da’i. Ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita, khususnya yang akan menyampaikan dakwah kepada orang lain supaya dalam menyampaikan dakwah dilakukan secara santun dan lemah lembut. Dengan jalan hikmah atau cara-cara yang baik.

            Mengapa kita sebagai orang Islam dianjurkan untuk berdakwah secara santun? Tentu perintah Allah tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kebaikan bagi semuanya. Baik bagi yang mengajak maupun yang diajak. Bukankah kita sudah diberikan banyak contoh tentang keberhasilan dakwah para pendahulu kita mengenai dakwah secara santun? Seperti halnya yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw., para Wali Songo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa dengan akulturasi budayanya, hingga para kiai sesepuh dulu (bahkan kini) yang menerapkan dakwah dengan merangkul, bukan memukul. Mengajarkan Islam yang ramah bukan Islam yang marah-marah. Inilah cara-cara yang diwariskan para ulama atau kiai kita dahulu. Bukan ‘mereka’ saudara kita di lain tempat yang sedikit berbeda cara menyampaikan dakwahnya. Yang terkesan ‘keras’ dan ‘memaksakan’.

Dengan keramahan, masyarakat tentu akan mudah menerima. Dengan merangkul masyarakat yang tadinya belum tahu, mereka akan mudah diajak. Berbeda jika dakwah kita dengan cara memaksa atau dengan sekehendak hati kita tanpa memperhatikan kondisi masyarakat suatu daerah yang kita ajak. Tentu masyarakat akan sulit menerima dan bahkan justru malah tak segan untuk lari menjauh dari kita sebagai Da’i.

            Sedikit kata pengantar di atas mungkin cukup untuk mengawali cerita atau pengalaman yang penulis rasakan beberapa waktu lalu ketika ditugaskan oleh pondok pesantren untuk praktik berdakwah di suatu daerah yang jauh dari perkotaan. Berikut ini adalah pengalaman penulis.

            Bersafari Sembari 'belajar' Mengabdi
Tepatnya pada Bulan Ramadhan tahun lalu (Tahun 1439 H) di pondok pesantren penulis ada sebuah program bernama ‘Safari Ramadhan’. Program tersebut diikuti oleh santri yang sudah lulus dari kelas Alfiyyah Tsani (memasuki kelas Bukhori) baik putra maupun putri. Jadi setiap santri yang sudah naik dari kelas Alfiyyah Tsani wajib melaksanakan tugas untuk mempraktikkan keilmuan pesantren yang sudah didapat selama kurang lebih lima tahun menurut kalender pendidikan pesantren.

            Karena kurikulum pesantren penulis berkiblat pada kurikulum yang ada di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang (API) sehingga terdapat program yang sama, yaitu pengabdian kepada masyarakat (jika ibarat di perkuliahan adalah Kuliah Kerja Nyata). Dengan lembaga yang mengurusinya yaitu Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) pada Divisi Pengabdian Masyarakat.

Setelah semua santri yang sudah menyelesaikan kurikulum di kelas Alfiyyah Tsani, maka terdapat satu tugas terakhir yang harus diikuti yaitu Safari Ramadhan tadi atau sering juga juga disebut ‘KKN Pondok’. Setiap santri sudah ditempatkan di daerahnya masing-masing. Jika santri putri hanya dibebani tugas untuk mengurusi Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) di sekitar pondok saja dan pulang pada sore harinya.

Berbeda dengan santri putra yang semuanya diberi tugas untuk menjadi pengganti Takmir Masjid atau Mushola selama Bulan Ramdhan plus Idul Fitri. Penulis sendiri ditempatkan di daerah Gunungkidul. Gunungkidul terkenal dengan tanah tandusnya serta kekurangan air, terutama di daerah pesisir pantai. Namun tidak semua daerah juga yang memiliki keadaan seperti itu. Di tempat penulis justru air berlimpah.

Santri putra tinggal di daerah tersebut (di rumah takmir atau di kamar masjid/mushola). Tugas-tugas ketakmiran kegiatan selama Ramadhan diberikan kepada kami yang meliputi Imam Sholat Fardhu, Imam Tarawih, Kultum Ba’da Tarawih, Kultum Ba’da Subuh, Tadarus, Mengajar Ngaji Anak-anak, Ibu-ibu, Khotib Sholat Jum’at, Imam Sholat Jum’at, hingga takbir keliling pada malam hari raya. Atau bahkan ada hal-hal remeh yang terkadang tak pernah terkira juga dirasakan. Seperti jika tiba-tiba ada warga yang meminta ‘suwuk’ supaya anaknya tidak nakal, supaya melahirkan gampang. Atau terkadang pertanyaan-pertanyaan nyeleneh lainnya.

            Karena kami ditugaskan di setiap Masjid dan Mushola yang berbeda-beda, tentu memiliki pengalaman dan cerita-cerita berkesan atau bahkan unik tersendiri yang itu pasti selalu terkenang selamanya.

Penulis sendiri ditugaskan di sebuah Mushola yang mana daerah tersebut dapat dikatakan masih banyak masyarakat awam tentang agama. Meskipun secara ekonomi tidaklah terlalu menengah ke bawah, tetapi untuk soal keagamaan yang kurang diperhatikan membuat kebanyakan warga belum mengerti jauh tentang dasar-dasar keagamaan. Inilah salah satu tantangan yang penulis rasakan.

Daerah yang penulis tempati merupakan desa wisata dengan pengembangan wisata alam berupa Telusur Gua atau Rafting yang memanfaatkan aliran sungai yang lumayan deras untuk kegiatan Outbond. Sehingga banyak wisatawan lokal maupun turis asing yang datang. Banyaknya wisatawan yang berkunjung itulah dimanfaatkan warga untuk berkegiatan ekonomi. Ada yang menyewakan penginapan, catering, jasa antar jemput, pemandu wisata, warung makan, dan lain sebagainya. Dengan usaha itulah, warga lumayan dapat terbantu ekonominya untuk menyekolahkan anak-anak mereka atau untuk menyambung kehidupan sehari-harinya.

Pada awalnya, ketika masuk desa tersebut penulis dan teman teman santri lain (yang putra) diberi beberapa petunjuk dan pembekalan dasar oleh LP2M sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program ini. Abah selaku pengasuh pondok pun ikut memberikan nasihat-nasihat serta hal-hal penting terkait tugas tersebut. Dari Abah sendiri memberikan ijazah untuk mengirimkan bacaan Surah al Fatihah yang ditujukan kepada dua raja jin ketika akan memasuki gerbang desa tersebut. Wallahu A’lam. Selain itu pula beliau berpesan untuk selalu menjaga nama baik pesantren serta selalu banyak mujahadah (dzikir) selama di daerah tugas Safari Ramadhan. Semua pembekalan sudah kami bawa. Baik dhohir maupun bathin.

Hari-hari awal penulis memulai mengembang tugas ‘berdakwah’ terasa sangat berat karena penulis di sana seakan menjadi kiai yang menjadi sorotan masyarakat dengan segudang bekal ilmu yang dibawa dan siap dibagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan. Padahal penulis hanyalah santri bau kencur yang masih sangat jauh dari kata ‘cukup’ akan keilmuan agama.

Hari pertama perkenalan dengan warga dan anak-anak TPA di sana. Malamnya sudah resmi bertugas menjadi Imam Sholat Isya plus Tarawih dilanjutkan Kultum setelahnya. Dilanjutkan tadarus dan ‘menemani’ para jamaah dengan berbagai lapisan serta umur yang berbeda beda. Setelah sahur dilanjutkan Imam Shalat Subuh dan Kultum Subuh. Begitulah kurang lebih tugas pokok yang diberikan takmir dari malam pertama hingga akhir Ramadhan. Namun lambat laun (kira-kira seminggu) penulis sudah mulai terbiasa dengan rutinitas tersebut. Kitab-kitab Fiqh dasar yang diajarkan di pesantren penulis sampaikan kepada anak-anak dan jamaah.

Waktu itu penulis memberikan materi pada kitab-kitab dasar seperti Syifaul Jinan (tentang Tajwid), Alala, Aqidatul Awam kepada anak-anak TPA. Sedangkan Fathul Qorib untuk jamaah bapak-bapak dan ibu-ibu ba’da shubuh. Adapun kultum ba’da sholat tarawih bertemakan Fadhoilul A’mal yang ringan-ringan dengan menukil ayat-ayat Al Qur’an, hadis atau yang terdapat di beberapa kitab kuning. Biasanya meliputi keutamaan-keutamaan ibadah selama bulan Ramadhan, sholat Sunnah, adab-adab dalam kehidupan sehari-hari dan lain sebagainya.

Penulis sering memberikan kesempatan untuk mempersilahkan jamaah bertanya. Jika pertanyaan langsung bisa penulis jawab, maka penulis jawab saat itu juga. Namun jika penulis merasa kurang yakin akan jawaban, maka penulis berjanji akan menjawabnya esoknya lagi atau meminta bantuan kepada pak takmir yang merupakan sesepuh keagamaan di sana untuk menjawab.

Alhamdulillah, selama Bulan Ramadhan di sana tugas dapat penulis jalankan dengan maksimal dan lancar. Meskipun ada kendala namun bisa diselesaikan. Terutama ketika terdapat salah satu jamaah yang ternyata bukanlah satu ormas (yang tentu amaliah ibadahnya sedikit berbeda dengan penulis) mengajukan ‘protes’ kepada penulis. Sehingga menjadi kegalauan penulis saat itu. Hingga akhirnya Penulis meminta saran kepada pak takmir dan salah satu sesepuh di sana. Penulis pun menjadi mantap dan seakan diberi dukungan penuh serta harus mempunyai prinsip yang kuat.

Hingga akhirnya salah satu warga yang protes tadi bisa menerima dengan ‘legowo’ dan dapat mengikuti kegiatan ramadhan di desa tersebut. Meskipun beliau masih ‘kekeh’ terhadap beberapa amaliah yang ia anggap lebih benar. Namun hal tersebut tak menjadi masalah selama tidak mengganggu atau mempengaruhi warga lain yang notabene awam yang tentu mudah ditarik oleh siapa saja yang menariknya.

Penulis menyadari bahwa berdakwah bukanlah memaksakan kehendak dengan menampakkan ambisi di hadapan masyarakat, terlebih terhadap masyarakat yang tingkat pemahamannya masih bisa dikatakan ‘awam’ dan masih memegang teguh pada tradisi lokal yang (terkadang) jauh dari syariat. Atau bahkan kepada mereka yang amaliah dan pemahamannya sedikit ‘berbeda’ dengan kita (bukan NU).

Meneladani Abah Kiai
Selama berlatih berdakwah di desa tersebut, penulis berusaha untuk mengambil teladan dari pengasuh pertama pesantren, Almaghfurlah Almarhum KH. Najib Salimi (Abah Najib). Beliau selalu menempatkan orang lain pada penghormatan yang tinggi. Tidak memandang remeh orang-orang yang ‘jauh’ dari Tuhan. Sepenggal kalimat yang pernah beliau sampaikan pada suatu kesempatan ialah “Kepandaian tanpa didasari penghormatan (adab) adalah kepandaian yang buta”.

Jadi, seseorang dengan tingkat kepandaian setinggi langit pun jika tidak mempunyai adab ibarat seseorang yang buta. Tidak jauh berbeda seperti apa yang dikatakan oleh Syeh Abdul Qadir Al Jilani, beliau merupakan Ahli Tasawuf yang sangat terkenal dengan keilmuan serta kewaliannya. Beliau juga pernah mengatakan, "Aku lebih menghargai orang-orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia". Demikian perkataan Syeh Abdul Qadir Al Jilani. Karena itulah meskipun Iblis berilmu, namun ia tak beradab. Begitu pentingnya adab dibandingkan ilmu.

Beliau, Abah Najib adalah sosok yang mudah bergaul dengan siapa saja. Dari kalangan kiai atau orang pinggiran yang tidak beliau kenal sekalipun. Bahkan beliau tidak segan bergaul dengan preman-preman terminal. Karena prinsip beliau dalam berdakwah adalah dengan merangkul bukan memukul. Dengan sikap yang ramah bukan yang selalu marah-marah. Seperti yang telah diajarkan kepada para sesepuh dahulu.

Mungkin inilah keberhasilan dakwah dari sosok beliau yang selalu menginspirasi para santrinya di kemudian hari hingga saat ini. Nama beliau selalu diingat dan terukir di hati para jamaah dan pengikut beliau bahkan setelah beliau tiada. Jasanya dalam ‘memberikan tempat’ bagi orang-orang yang ‘jauh’ dari Tuhan selalu membekas bagi mereka-meraka yang pernah bertemu dengan beliau.

Sungguh, itu semua dibuktikan dengan lokasi pesantren kami yang dekat dengan terminal bus di daerah Kota Yogyakarta. Dengan kondisi masyarakat perkotaan yang notabene menengah ke bawah, sehingga banyak orang yang profesinya sedikit melenceng oleh aturan-aturan syariat, seperti judi, mabuk-mabukan, sabung ayam dan lain sebagainya. Bahkan nama gang-gang di sekitar pesantren dinamakan dengan nama-nama ayam. Yang konon katanya memang lingkungan pesantren yang dekat dengan banyak judi sabung ayam.

Tentu banyak kisah yang ada mengenai beliau (bisa dibaca pada buku biografi tentang beliau). Terutama mereka-mereka (para jamaah dan santri lama) yang pernah berinteraksi langsung dengan beliau, almarhum almaghfurlah Abah Najib Salimi. Teladan-teladan dakwah beliau yang tertulis dalam buku biografi ataupun cerita-cerita santri dahulu lah yang selalu memberikan motivasi bagi Penulis dalam menjalani kehidupan ini. Terlebih ketika berdakwah kepada masyarakat saat itu. Seperti halnya yang diwariskan oleh para sesepuh kiai kita zaman dulu dan para walisongo ketika mengislamkan tanah Jawa.

Dari sinilah mengapa pondok pesantren sebagai wadah atau lembaga pendidikan dengan produk-produk yang dihasilkannya diakui banyak kalangan dan mudah diterima oleh masyarakat. Terutama masyarakat yang masih jauh dari sentuhan agama. Karena pendidikan yang diberikan pesantren merupakan pendidikan yang secara langsung sudah diajarkan bermasyarakat dan belajar bagaimana ‘hidup’.

Santri dan Filosofi Sarung
Ibarat sarung yang sangat familiar dalam kehidupan para santri. Selain praktis, sarung juga fleksibel. Sangat berbeda dengan celana. Jika celana dipakai mengikuti ukuran badan, kalau badannya kecil ya celananya harus kecil begitupun sebaliknya. Kalau badan sedikit membesar sia-sia deh celananya. Kalau kalian beli celana harus lihat dulu ukurannya berapa. Dicoba dulu. Itupun kalau masih ada ukurannya. Kalau habis bahkan tidak jadi beli celana.

Berbeda dengan sarung. Sarung dipakai untuk semua umur dan semua ukuran badan. Dari yang muda sampai yang tua, dari yang kelihatan tulangnya sampai yang kelihatan lemaknya, semua bisa sarungan. Sarung tidak memandang apakah itu tua atau muda, besar atau kecil, yang penting masuk, lipat, gulung, selesai.

           Intinya, sarung menggambarkan kepribadian santri. Santri dituntut untuk menjadi ‘sarungnya masyarakat’ kelak di kemudian hari. Santri harus bisa menyelesaikan masalah tanpa berbelit-belit. Santri juga harus memberikan kemudahan dan solusi ketika dibutuhkan masyarakat. Tidak membeda-bedakan orang, baik yang jahat ataupun yang baik, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, santri harus bisa mengayomi semuanya. Dan yang terakhir, datangnya santri diharapkan membawa kenyamanan dan kesejukan di masyarakat.

Sekilas Tentang Pondok Pesantren dan Pengasuh
Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta mulai dibangun pada tahun 1998 M atas prakarsa H. Lukman Jamal Hasibuan, seorang pengusaha kelahiran Sumatera, dan selesai akhir tahun 1999 M. Kemudian diresmikan pada tanggal 9 Februari 2000 M oleh KH. Salimi, seorang tokoh agama asal Mlangi Sleman, dengan nama Pondok Pesantren Salaf Putra Putri Asrama Perguruan Islam (API) “Al-Luqmaniyyah”. Penamaan ini diambil dari nama pendiri, yaitu Bapak H. Lukman Hasibuan. Lokasinya berada di Jl. Babaran Gg. Cemani No. 759 P / UH V Kalangan, Umbulharjo, Yogyakarta. Adapun ciri khas dari pesantrennya sendiri adalah Salafiyyah yang pembelajarannaya mengacu pada kitab-kitab kuning. Juga berkiblat pada Pesantren API Tegalrejo Magelang.

Selanjutnya, Ponpes Al Luqmaniyyah diasuh oleh KH. Najib Salimi selama kurang lebih 11 tahun (2000-2011) dan sepeninggal beliau yakni tepatnya pada tanggal 02 Dzulqo’dah 1432 H / 30 September 2011Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah diasuh oleh istri beliau yakni Ibu Hj. Siti Chamnah Najib dengan dibantu oleh sanak keluarga beliau. Hingga mulai pada tahun 2016 (hingga sekarang) diasuh oleh Adik beliau, Abah Naim Salimi.

Dari segi materi pendidikan, Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah memiliki karakter yang mirip dengan sistem yang dipakai di API Tegalrejo, Magelang. Sebagai salah satu contoh, Ponpes Al-Luqmaniyyah sangat menganjurkan para santrinya untuk mujahadah dan riyadloh sebagai sarana untuk mempersiapkan diri menerima ilmu yang bermanfaat. Setiap setelah maghrib dan sebelum subuh selalu melaksanakan kegiatan dzikir mujahadah di masjid untuk santri putra dan Aula untuk santri putri Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah.

Sekian. Wallahu A’lam.

***


 Dokumentasi :


Kunjungan Pengasuh (Abah Naim) dan rombongan LPM serta asatidz


Jalan jalan pagi bersama anak-anak


Idul Fitri hari pertama bersama Keluarga Bpk. Puji







 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT