Almaghfurlah KH. Najib Salimi Mamba'ul Ulum |
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125).
***
Mungkin kita sudah sering membaca atau mendengar ayat di
atas. Ayat tersebut merupakan salah satu yang dijadikan pegangan wajib bagi
seorang penyampai kebenaran, sebagai seorang pendakwah atau biasa disebut
dengan Da’i. Ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita, khususnya yang akan
menyampaikan dakwah kepada orang lain supaya dalam menyampaikan dakwah
dilakukan secara santun dan lemah lembut. Dengan jalan hikmah atau cara-cara
yang baik.
Mengapa kita sebagai orang Islam
dianjurkan untuk berdakwah secara santun? Tentu perintah Allah tersebut tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk kebaikan bagi semuanya. Baik bagi yang
mengajak maupun yang diajak. Bukankah kita sudah diberikan banyak contoh
tentang keberhasilan dakwah para pendahulu kita mengenai dakwah secara santun?
Seperti halnya yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw., para Wali Songo yang
menyebarkan Islam di Pulau Jawa dengan akulturasi budayanya, hingga para kiai
sesepuh dulu (bahkan kini) yang menerapkan dakwah dengan merangkul, bukan
memukul. Mengajarkan Islam yang ramah bukan Islam yang marah-marah. Inilah
cara-cara yang diwariskan para ulama atau kiai kita dahulu. Bukan ‘mereka’
saudara kita di lain tempat yang sedikit berbeda cara menyampaikan dakwahnya.
Yang terkesan ‘keras’ dan ‘memaksakan’.
Dengan keramahan, masyarakat tentu akan mudah menerima.
Dengan merangkul masyarakat yang tadinya belum tahu, mereka akan mudah diajak.
Berbeda jika dakwah kita dengan cara memaksa atau dengan sekehendak hati kita
tanpa memperhatikan kondisi masyarakat suatu daerah yang kita ajak. Tentu masyarakat
akan sulit menerima dan bahkan justru malah tak segan untuk lari menjauh dari
kita sebagai Da’i.
Sedikit kata pengantar di atas
mungkin cukup untuk mengawali cerita atau pengalaman yang penulis rasakan
beberapa waktu lalu ketika ditugaskan oleh pondok pesantren untuk praktik
berdakwah di suatu daerah yang jauh dari perkotaan. Berikut ini adalah pengalaman
penulis.
Bersafari Sembari 'belajar' Mengabdi
Tepatnya pada Bulan Ramadhan tahun lalu (Tahun 1439 H) di
pondok pesantren penulis ada sebuah program bernama ‘Safari Ramadhan’. Program
tersebut diikuti oleh santri yang sudah lulus dari kelas Alfiyyah Tsani
(memasuki kelas Bukhori) baik putra maupun putri. Jadi setiap santri yang sudah
naik dari kelas Alfiyyah Tsani wajib melaksanakan tugas untuk mempraktikkan
keilmuan pesantren yang sudah didapat selama kurang lebih lima tahun menurut kalender
pendidikan pesantren.
Karena kurikulum pesantren penulis berkiblat
pada kurikulum yang ada di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang (API) sehingga
terdapat program yang sama, yaitu pengabdian kepada masyarakat (jika ibarat di perkuliahan
adalah Kuliah Kerja Nyata). Dengan lembaga yang mengurusinya yaitu Lembaga
Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) pada Divisi Pengabdian
Masyarakat.
Setelah semua santri yang sudah menyelesaikan kurikulum di
kelas Alfiyyah Tsani, maka terdapat satu tugas terakhir yang harus diikuti
yaitu Safari Ramadhan tadi atau sering juga juga disebut ‘KKN Pondok’. Setiap
santri sudah ditempatkan di daerahnya masing-masing. Jika santri putri hanya
dibebani tugas untuk mengurusi Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) di sekitar
pondok saja dan pulang pada sore harinya.
Berbeda dengan santri putra yang semuanya diberi tugas
untuk menjadi pengganti Takmir Masjid atau Mushola selama Bulan Ramdhan plus
Idul Fitri. Penulis sendiri ditempatkan di daerah Gunungkidul. Gunungkidul
terkenal dengan tanah tandusnya serta kekurangan air, terutama di daerah
pesisir pantai. Namun tidak semua daerah juga yang memiliki keadaan seperti
itu. Di tempat penulis justru air berlimpah.
Santri putra tinggal di daerah tersebut (di rumah takmir
atau di kamar masjid/mushola). Tugas-tugas ketakmiran kegiatan selama Ramadhan diberikan
kepada kami yang meliputi Imam Sholat Fardhu, Imam Tarawih, Kultum Ba’da
Tarawih, Kultum Ba’da Subuh, Tadarus, Mengajar Ngaji Anak-anak, Ibu-ibu, Khotib
Sholat Jum’at, Imam Sholat Jum’at, hingga takbir keliling pada malam hari raya.
Atau bahkan ada hal-hal remeh yang terkadang tak pernah terkira juga dirasakan.
Seperti jika tiba-tiba ada warga yang meminta ‘suwuk’ supaya anaknya tidak
nakal, supaya melahirkan gampang. Atau terkadang pertanyaan-pertanyaan nyeleneh
lainnya.
Karena kami ditugaskan di setiap
Masjid dan Mushola yang berbeda-beda, tentu memiliki pengalaman dan
cerita-cerita berkesan atau bahkan unik tersendiri yang itu pasti selalu
terkenang selamanya.
Penulis sendiri ditugaskan di sebuah Mushola yang mana
daerah tersebut dapat dikatakan masih banyak masyarakat awam tentang agama.
Meskipun secara ekonomi tidaklah terlalu menengah ke bawah, tetapi untuk soal
keagamaan yang kurang diperhatikan membuat kebanyakan warga belum mengerti jauh
tentang dasar-dasar keagamaan. Inilah salah satu tantangan yang penulis rasakan.
Daerah yang penulis tempati merupakan desa wisata dengan
pengembangan wisata alam berupa Telusur Gua atau Rafting yang
memanfaatkan aliran sungai yang lumayan deras untuk kegiatan Outbond.
Sehingga banyak wisatawan lokal maupun turis asing yang datang. Banyaknya
wisatawan yang berkunjung itulah dimanfaatkan warga untuk berkegiatan ekonomi.
Ada yang menyewakan penginapan, catering, jasa antar jemput, pemandu
wisata, warung makan, dan lain sebagainya. Dengan usaha itulah, warga lumayan
dapat terbantu ekonominya untuk menyekolahkan anak-anak mereka atau untuk
menyambung kehidupan sehari-harinya.
Pada awalnya, ketika masuk desa
tersebut penulis dan teman teman santri lain (yang putra) diberi beberapa
petunjuk dan pembekalan dasar oleh LP2M sebagai lembaga yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan program ini. Abah selaku pengasuh pondok pun ikut memberikan
nasihat-nasihat serta hal-hal penting terkait tugas tersebut. Dari Abah sendiri
memberikan ijazah untuk mengirimkan bacaan Surah al Fatihah yang ditujukan
kepada dua raja jin ketika akan memasuki gerbang desa tersebut. Wallahu
A’lam. Selain itu pula beliau berpesan untuk selalu menjaga nama baik
pesantren serta selalu banyak mujahadah (dzikir) selama di daerah tugas Safari
Ramadhan. Semua pembekalan sudah kami bawa. Baik dhohir maupun bathin.
Hari-hari awal penulis memulai mengembang
tugas ‘berdakwah’ terasa sangat berat karena penulis di sana seakan menjadi
kiai yang menjadi sorotan masyarakat dengan segudang bekal ilmu yang dibawa dan
siap dibagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan. Padahal penulis hanyalah santri
bau kencur yang masih sangat jauh dari kata ‘cukup’ akan keilmuan agama.
Hari pertama perkenalan dengan
warga dan anak-anak TPA di sana. Malamnya sudah resmi bertugas menjadi Imam
Sholat Isya plus Tarawih dilanjutkan Kultum setelahnya. Dilanjutkan tadarus dan
‘menemani’ para jamaah dengan berbagai lapisan serta umur yang berbeda beda.
Setelah sahur dilanjutkan Imam Shalat Subuh dan Kultum Subuh. Begitulah kurang
lebih tugas pokok yang diberikan takmir dari malam pertama hingga akhir
Ramadhan. Namun lambat laun (kira-kira seminggu) penulis sudah mulai terbiasa
dengan rutinitas tersebut. Kitab-kitab Fiqh dasar yang diajarkan di pesantren penulis
sampaikan kepada anak-anak dan jamaah.
Waktu itu penulis memberikan
materi pada kitab-kitab dasar seperti Syifaul Jinan (tentang Tajwid), Alala,
Aqidatul Awam kepada anak-anak TPA. Sedangkan Fathul Qorib untuk jamaah
bapak-bapak dan ibu-ibu ba’da shubuh. Adapun kultum ba’da sholat tarawih
bertemakan Fadhoilul A’mal yang ringan-ringan dengan menukil ayat-ayat
Al Qur’an, hadis atau yang terdapat di beberapa kitab kuning. Biasanya meliputi
keutamaan-keutamaan ibadah selama bulan Ramadhan, sholat Sunnah, adab-adab
dalam kehidupan sehari-hari dan lain sebagainya.
Penulis sering memberikan
kesempatan untuk mempersilahkan jamaah bertanya. Jika pertanyaan langsung bisa penulis
jawab, maka penulis jawab saat itu juga. Namun jika penulis merasa kurang yakin
akan jawaban, maka penulis berjanji akan menjawabnya esoknya lagi atau meminta
bantuan kepada pak takmir yang merupakan sesepuh keagamaan di sana untuk
menjawab.
Alhamdulillah, selama Bulan
Ramadhan di sana tugas dapat penulis jalankan dengan maksimal dan lancar.
Meskipun ada kendala namun bisa diselesaikan. Terutama ketika terdapat salah
satu jamaah yang ternyata bukanlah satu ormas (yang tentu amaliah ibadahnya
sedikit berbeda dengan penulis) mengajukan ‘protes’ kepada penulis. Sehingga
menjadi kegalauan penulis saat itu. Hingga akhirnya Penulis meminta saran
kepada pak takmir dan salah satu sesepuh di sana. Penulis pun menjadi mantap
dan seakan diberi dukungan penuh serta harus mempunyai prinsip yang kuat.
Hingga akhirnya salah satu warga
yang protes tadi bisa menerima dengan ‘legowo’ dan dapat mengikuti kegiatan
ramadhan di desa tersebut. Meskipun beliau masih ‘kekeh’ terhadap beberapa
amaliah yang ia anggap lebih benar. Namun hal tersebut tak menjadi masalah
selama tidak mengganggu atau mempengaruhi warga lain yang notabene awam yang
tentu mudah ditarik oleh siapa saja yang menariknya.
Penulis menyadari bahwa berdakwah
bukanlah memaksakan kehendak dengan menampakkan ambisi di hadapan masyarakat,
terlebih terhadap masyarakat yang tingkat pemahamannya masih bisa dikatakan
‘awam’ dan masih memegang teguh pada tradisi lokal yang (terkadang) jauh dari
syariat. Atau bahkan kepada mereka yang amaliah dan pemahamannya sedikit
‘berbeda’ dengan kita (bukan NU).
Meneladani Abah Kiai
Selama berlatih berdakwah di desa
tersebut, penulis berusaha untuk mengambil teladan dari pengasuh pertama
pesantren, Almaghfurlah Almarhum KH. Najib Salimi (Abah Najib). Beliau selalu
menempatkan orang lain pada penghormatan yang tinggi. Tidak memandang remeh
orang-orang yang ‘jauh’ dari Tuhan. Sepenggal kalimat yang pernah beliau
sampaikan pada suatu kesempatan ialah “Kepandaian tanpa didasari
penghormatan (adab) adalah kepandaian yang buta”.
Jadi,
seseorang dengan tingkat kepandaian setinggi langit pun jika tidak mempunyai
adab ibarat seseorang yang buta. Tidak jauh berbeda seperti apa yang dikatakan
oleh Syeh Abdul Qadir Al Jilani, beliau merupakan Ahli Tasawuf yang sangat
terkenal dengan keilmuan serta kewaliannya. Beliau juga pernah mengatakan, "Aku
lebih menghargai orang-orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau
hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia".
Demikian perkataan Syeh Abdul Qadir Al Jilani. Karena itulah meskipun Iblis
berilmu, namun ia tak beradab. Begitu pentingnya adab dibandingkan ilmu.
Beliau, Abah Najib adalah sosok
yang mudah bergaul dengan siapa saja. Dari kalangan kiai atau orang pinggiran
yang tidak beliau kenal sekalipun. Bahkan beliau tidak segan bergaul dengan
preman-preman terminal. Karena prinsip beliau dalam berdakwah adalah dengan
merangkul bukan memukul. Dengan sikap yang ramah bukan yang selalu marah-marah.
Seperti yang telah diajarkan kepada para sesepuh dahulu.
Mungkin inilah keberhasilan dakwah
dari sosok beliau yang selalu menginspirasi para santrinya di kemudian hari
hingga saat ini. Nama beliau selalu diingat dan terukir di hati para jamaah dan
pengikut beliau bahkan setelah beliau tiada. Jasanya dalam ‘memberikan tempat’
bagi orang-orang yang ‘jauh’ dari Tuhan selalu membekas bagi mereka-meraka yang
pernah bertemu dengan beliau.
Sungguh, itu semua dibuktikan
dengan lokasi pesantren kami yang dekat dengan terminal bus di daerah Kota
Yogyakarta. Dengan kondisi masyarakat perkotaan yang notabene menengah ke
bawah, sehingga banyak orang yang profesinya sedikit melenceng oleh
aturan-aturan syariat, seperti judi, mabuk-mabukan, sabung ayam dan lain
sebagainya. Bahkan nama gang-gang di sekitar pesantren dinamakan dengan
nama-nama ayam. Yang konon katanya memang lingkungan pesantren yang dekat
dengan banyak judi sabung ayam.
Tentu banyak kisah yang ada mengenai
beliau (bisa dibaca pada buku biografi tentang beliau). Terutama mereka-mereka
(para jamaah dan santri lama) yang pernah berinteraksi langsung dengan beliau,
almarhum almaghfurlah Abah Najib Salimi. Teladan-teladan dakwah beliau yang
tertulis dalam buku biografi ataupun cerita-cerita santri dahulu lah yang
selalu memberikan motivasi bagi Penulis dalam menjalani kehidupan ini. Terlebih
ketika berdakwah kepada masyarakat saat itu. Seperti halnya yang diwariskan
oleh para sesepuh kiai kita zaman dulu dan para walisongo ketika mengislamkan tanah
Jawa.
Dari sinilah mengapa pondok
pesantren sebagai wadah atau lembaga pendidikan dengan produk-produk yang
dihasilkannya diakui banyak kalangan dan mudah diterima oleh masyarakat.
Terutama masyarakat yang masih jauh dari sentuhan agama. Karena pendidikan yang
diberikan pesantren merupakan pendidikan yang secara langsung sudah diajarkan
bermasyarakat dan belajar bagaimana ‘hidup’.
Santri dan Filosofi Sarung
Ibarat sarung yang sangat familiar
dalam kehidupan para santri. Selain praktis, sarung juga
fleksibel. Sangat berbeda dengan celana. Jika celana dipakai mengikuti ukuran
badan, kalau badannya kecil ya celananya harus kecil begitupun sebaliknya.
Kalau badan sedikit membesar sia-sia deh celananya. Kalau kalian beli celana
harus lihat dulu ukurannya berapa. Dicoba dulu. Itupun kalau masih ada ukurannya.
Kalau habis bahkan tidak jadi beli celana.
Berbeda dengan sarung. Sarung dipakai untuk semua
umur dan semua ukuran badan. Dari yang muda sampai yang tua, dari yang
kelihatan tulangnya sampai yang kelihatan lemaknya, semua bisa sarungan. Sarung
tidak memandang apakah itu tua atau muda, besar atau kecil, yang penting masuk,
lipat, gulung, selesai.
Intinya, sarung menggambarkan kepribadian santri. Santri dituntut untuk menjadi ‘sarungnya masyarakat’ kelak di kemudian hari. Santri harus bisa menyelesaikan masalah tanpa berbelit-belit. Santri juga harus memberikan kemudahan dan solusi ketika dibutuhkan masyarakat. Tidak membeda-bedakan orang, baik yang jahat ataupun yang baik, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, santri harus bisa mengayomi semuanya. Dan yang terakhir, datangnya santri diharapkan membawa kenyamanan dan kesejukan di masyarakat.
Sekilas Tentang
Pondok Pesantren dan Pengasuh
Pondok
Pesantren Al-Luqmaniyyah
Yogyakarta mulai dibangun pada tahun 1998 M atas prakarsa H. Lukman Jamal
Hasibuan, seorang pengusaha kelahiran Sumatera, dan selesai akhir tahun 1999 M.
Kemudian diresmikan pada tanggal 9 Februari 2000 M oleh KH. Salimi, seorang
tokoh agama asal Mlangi Sleman, dengan nama Pondok Pesantren Salaf Putra Putri
Asrama Perguruan Islam (API) “Al-Luqmaniyyah”. Penamaan ini diambil dari
nama pendiri, yaitu Bapak H. Lukman Hasibuan. Lokasinya berada di Jl.
Babaran Gg. Cemani No. 759 P / UH V Kalangan, Umbulharjo, Yogyakarta. Adapun ciri
khas dari pesantrennya sendiri adalah Salafiyyah yang pembelajarannaya mengacu
pada kitab-kitab kuning. Juga berkiblat pada Pesantren API Tegalrejo Magelang.
Selanjutnya, Ponpes Al Luqmaniyyah diasuh oleh
KH. Najib Salimi selama kurang lebih 11 tahun (2000-2011) dan sepeninggal
beliau yakni tepatnya pada tanggal 02 Dzulqo’dah 1432 H / 30 September 2011, Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah diasuh oleh istri
beliau yakni Ibu Hj. Siti Chamnah Najib dengan dibantu oleh sanak keluarga
beliau. Hingga mulai pada tahun 2016 (hingga sekarang) diasuh oleh Adik beliau,
Abah Naim Salimi.
Dari segi materi pendidikan,
Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah memiliki karakter
yang mirip dengan sistem yang dipakai di API Tegalrejo, Magelang. Sebagai salah satu contoh,
Ponpes Al-Luqmaniyyah sangat menganjurkan
para santrinya untuk mujahadah dan riyadloh sebagai
sarana untuk mempersiapkan diri menerima ilmu yang bermanfaat. Setiap setelah
maghrib dan sebelum subuh selalu melaksanakan kegiatan dzikir mujahadah di
masjid untuk
santri putra dan Aula untuk santri putri Pondok pesantren Al-Luqmaniyyah.
Sekian. Wallahu A’lam.
***
Jalan jalan pagi bersama anak-anak |
Idul Fitri hari pertama bersama Keluarga Bpk. Puji |
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...