Pondok pesantrenlah yang menjadi corak pendidikan Indonesia pada masa penjajahan dulu, yang pada zaman sekarang ini Indonesia sebenarnya masih terjajah, namun tidak lagi seperti dahulu yang menjajah dalam sistem pemerintahan dan fisik melainkan dalam dalam sistem pendidikannya.
Adab atau etika dalam berkomunikasi ini dijelaskan dan
diajarkan oleh kyai atau guru di pondok-pondok pesantren dengan mengacu pada
kitab-kitab klasik ulama zaman dahulu, terutama pada pondok pesantren salaf. Mungkin
sedikit berbeda dengan pondok-pondok modern yang lebih mengutamakan pelajaran umum
dibandingkan dengan mengkaji kitab-kitab klasik itu.
Dalam hal ini saya mencoba mengamalkan apa yang telah
saya dapat ketika belajar mengenai adab dan etika sebagai santri ketika bergaul
ataupun berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pembahasan kali ini Saya
mengambil contoh dari kitab Adabul ‘Alim
Wal Muta’allim karya Syaikh Hasyim Al Asy’ari, kyai kharismatik panutan umat
sekaligus tokoh yang sangat berpengaruh terhadap perjuangan bangsa Indonesia
ketika melawan penjajahan Jepang waktu itu. Pada waktu itu beliau mampu membangkitkan semangat para pejuang Indonesia
dengan fatwa jihadnya. Sehingga semangat pemuda Indonesia dan santri beliau
menjadi berkobar hingga dapat mengusir tentara Jepang dari tanah air tercinta ini.
Lalu mengapa saya mengambil contoh
dari kitab ini? Ya karena kitab karangan Mbah Hasyim Asy’ari ini sangat sesuai
dengan keadaan santri di tanah air, berbeda dengan kitab-kitab yang membahas
mengenai adab atau etika lainnya yang lebih menggambarkan sisi kehidupan murid
atau santri di Arab atau di Baghdad yang pastinya berbeda dengan di Indonesia.
Beliau mengarang kitab ini juga melalui pengamatan yang mendalam ketika beliau
masih nyantri maupun ketika beliau sudah mengajar di pesantren. Jadi kitab
sangat cocok bila dipelajari oleh para santri di Indonesia, karena pengarangnya
memang asli dari Indonesia.
Di dalam kitab
kitab mengenai etika diatas disebutkan diantaranya mengenai ketika seorang
santri berbicara kepada santri yang lebih tinggi (senior) ataupun kepada santri yang lebih rendah (yunior) agar bertutur kata yang sopan dan santun,
hindari canda atau humor yang menghina dan menyakiti teman lainnya, karena akan
menjadikan permusuhan, penuh perhatian saat mendengarkan teman sedang berbicara
dan tidak mengalihkan pandangan ke objek lain.
Disamping
berkomunikasi dengan kaum lelaki, seorang santri pasti tidak dapat terhindar
untuk berkomunikasi dengan lawan jenisnya pula. Apalagi ketika seorang santri tersebut selain berstatus sebagai
santri juga sebagai mahasiswa di sebuah perguguruan tinggi umum misalnya.
Karena kampus tidak dapat dihindarkan dengan pergaulan lawan jenis, apalagi
ketika dosen memberikan tugas dengan cara kelompok pastilah di sana tidak
memandang atau tidak mengelompokkan secara tersendiri antara laki-laki dan
perempuan. Maka dari itu sebagai seorang santri pun harus mengetahui etika
berkomunikasi dengan lawan jenis itu.
Ketika
berbicara dengan lawan jenis hendaknya juga diperhatikan etika-etikanya, misal
tidak memandang ke anggota tubuh manapun selain bola mata, memandang di
matapun sebenarnya kalau bisa dihindari karena sumber segala sesuatu itu dari
pandangan terhadap mata lawan jenisnya. Mata ibarat panah yang siap membidik
sasarannya, tidak apa-apa sesekali
menundukkan pandangan atau melihat ke tempat lain selain fisik yang diajak
bicara, karena hal ini akan menghindarkan timbulnya syahwat, berbicara
seperlunya sesuai tujuan, hindari bercanda apalagi kepada hal-hal yang
berkonotasi negatif, tidak menyinggung atau menyebut apapun yang bersifat
pribadi baikitu memunuji atapun menghina. Begitulah kira-kira etika seorang santri
ketika sedang berkomunikasi dengan lawan jenisnya.
Ketika dengan
kyai atau gurunya pun mempunyai banyak adab-adab yang harus dilakukan, misal
dengan mencium tangan saat bersalaman atau membungkukkan badan dan berdiri
ketika orang tua atau kyai lewat di depannya, memakai bahasa kromo (halus)
ketika berbicara dalam bahasa Jawa, intonasi ketika berbicara juga perlu
diperhatikan, janganlah terlalu keras ataupun terlalu pelan. Ketika guru sedang
berbicara, jangan menyelanya ataupun menjawab sebelum dipersilahkan olehnya,
karena hal itu dapat membuat guru kurang berkenan.
Terakhir adalah etika seorang santri kepada masyarakat sekitar tempat pondok
pesantren tersebut berada. Dalam pergaulan dengan warga kampung tentulah sedikit berbeda bila dibandingkan dengan pergaulan di dalam
pondok pesantren, dalam hal ini terhadap santri maupun terhadap guru dan-guru
dan kyainya. Dalam pergaulan sehari-harinya di lingkungan sekitar pesantren
santri harus bisa bersosial dan hendaknya membangun sikap solidaritas terhadap
masyarakat.
Hal-hal yang
bisa dilakukan misal dengan membantu kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat
seperti ketika kerja bakti membersihkan kampung, atau biasanya dengan ikut
dalam kegiatan pengajian rutinan, dan biasanya malah santri yang ditunjuk
sebagai pemimpin majelisnya. Dengan berbaur dan bersosial, seorang santri akan
belajar bagaimana cara bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga nantinya
dapat diterapkan ketika ia sudah benar- benar menjalani kehidupan rumah tangga
dan berkecimpung dalam urusan dakwah di masyarakat.
*) Oleh Charismanto,
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran
Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN SUKA Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi Semester 3
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...