BREAKING

Sabtu, 23 Agustus 2014

Inilah aku



Sang surya pagi mulai bersinar dari ufuk Timur...
Muncul perlahan-lahan dari balik awan di sana ...
Seakan-akan ia mengintipku yang berada di atas jemuran Pesantren ...
Kehangatan mulai terasa menjalar ke sekujur tubuhku ..
Bersamaan dengan itu kugerakkan jemariku di atas keyboard ...
Belajar merangkai kata demi kata dan mengungkapkan yang terserak dalam benakku ..
Mengalur dan mengalir bersama irama sang mentari …

Izinkan aku untuk sedikit berbagi kisahk hidupku ...

Inilah Aku …
Perkenalkan nama lengkapku Charismanto. Bisa dipanggil Charis, Aris, ataupun lainnya. Nama yang sederhana namun pasti ada do’a di dalamnya. Do’a dan harapan kedua orangtuaku  yang selalu mengiringi langkahku di dunia ini. Inilah sedikit kisah sepanjang sejarah dalam hidupku sampai detik ini ..
Dunia ‘kejahiliyahan’
Aku dilahirkan di sebuah desa di pulau seberang sana. Jauh dari keramaian kota, jauh dari lalu lalang kendaraan, dan jauh pula dari suara celoteh manusia. Ya, di sebuah tempat Transmigrasi  program masa pemerintahan Pak Harto waktu itu. Program Transmigrasi sebagai solusi untuk mengatasi kepadatan manusia Indonesia di Pulau Jawa ini.
Aku dilahirkan di sebuah daerah bernama Muara Bungo, sebuah daerah terpencil di Provinsi Jambi. Di sanalah aku dibesarkan oleh kedua orang tuaku. Di sanalah masa kecilku sampai usia sekitar 3 tahun. Aku teringat sebuah kejadian kecil waktu itu,  ketika ayah dan ibuku berangkat  bekerja di ladang, aku menangis meraung-raung, hingga nenekku lah yang menenangkanku. Akhirnya Aku bersama nenek di rumah, dan bermain bersama teman dekat rumah nenek.
Orang tuaku asli keturunan Jawa. Ibuku berasal dari Cilacap, yang terkenal dengan logat ngapaknya. Namun sekarang logat itu sedikit hilang seiring ia hijrah ke pulau Sumatera. Sedangkan Ayahku, beliau dilahirkan di Jawa Timur, tepatnya kabupaten Malang, yang terkenal dengan klub sepak bolanya Arema atau terkenal pula dengan sebutan kota Apelnya.

Hijrah yang pertama
Setelah aku berumur 3 tahun, orang tuaku pindah ke Provinsi sebelahnya, di sebuah daerah di Sumatera Selatan. Sederhana saja, alasan pindah ke sana adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ketika tiba di sana, semua dimulai dari nol, mereka (kedua orang tuaku) berjuang dan bekerja sekuat tenaga. Bekerja di ladang sawit yang telah disediakan oleh pemerintah. Dengan ketekunan, sedikit demi sedikit mulailah usaha keras itu mulai menampakkan hasil.
Hidup di daerah perantauan memang tidaklah semudah yang dibayangkan, di sana harus bisa berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat asli setempat. Sebagai pendatang kami tahu diri dan saling menolong baik sesama perantau lainnya maupun dengan masyarakat asli setempat. Semua cobaan pun dapat kita lalui. Sampai saat ini semua baik-baik saja. Dan semoga ke depannya menjadi lebih baik lagi.
Memasuki dunia pendidikan
Aku memulai sekolah tidak dimulai dari bangku Taman Kanak-kanak layaknya anak lainnya di daerah yang sudah maju ataupun di kota-kota. Namun Aku memulai sekolah langsung duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu usiaku pun belum genap berusia enam tahun. Masih sangat belia bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Masa-masa menyanyi dan menggambar aku alami di bangku kelas satu dan dua SD. Di bangku Sekolah Dasar prestasiku lumayan bisa membanggakan kedua orang tuaku. Memang pada catur wulan pertama aku memang  belum mendapat peringkat, namun memasuki catur wulan kedua dan ketiga langsung aku mendapat peringkat  dua dan tiga dan sampai semester akhir di SD aku berturut-turut selalu menduduki peringkat pertama. Yah.. lumayan.
Setelah lulus SD aku berencana untuk mondok  di sebuah pesantren di kota yang lumayan jauh dari daerahku. Semua telah aku siapkan, termasuk latihan mencuci dan lain-lain. Hehe. Aku sudah mantap untuk mondok dengan salah seorang teman dari daerahku. Namun, rencana yang telah aku susun tidak sesuai kehendakNya, aku belum diizinkan memasuki dunia pesantren. Kepala sekolahku mengumumkan bahwasanya akan ada pembangunan sekolah menengah pertama di daerahku. Atas dasar itulah kami yang baru lulus disarankan untuk mengisi dan ikut membangun sekolah menengah tersebut. Antara ya dan tidak, antara menjadi anak yang patuh kepada guru atau yang membantah, aku disuruh untuk memutuskannya. Apabila iya, maka sekolah akan diperjuangkan, namun apabila aku dan kawan-kawanku lebih memilih untuk pergi sekolah keluar atau mondok, maka tidak ada murid yang sekolah di sana. Dilanda kegalauan, atas saran dari kepala sekolah dan bapakku, aku memilih untuk tetap di rumah dan ikut membangun dan merintis sekolah tersebut.

Hijrah yang kedua
Waktu berlalu begitu cepat, masa-masa di SMP telah aku lalui, saatnya aku pergi merantau, keluar dari tempurung melihat suasana di luar sana. Banyak tawaran yang diberikan kepadaku untuk melanjutkan di sekolah umum favorit tidak jauh dari desaku. Di sana aku ditawari beasiswa dan fasilitas hidup yang bagus, namun tekadku telah benar-benar bulat. Aku memutuskan untuk pergi merantau di pulau seberang sana, pulau yang terkenal dengan keilmuannya yang luas, dan untuk mencari pengalaman yang lebih. Ya, dialah Pulau Jawa. Aku berangkat ke Yogyakarta untuk mondok  dan ngaji disamping juga mengenyam pendidikan sekolah umum. Disertai do’a  dari kedua orangtuaku dan dari tetangga, aku berangkat. Ditemani oleh bapakku, aku berangkat ke Jogja melalui jalan darat.
Setelah sekitar dua hari tiga malam, tibalah aku di sebuah pondok pesantren di Gunungkidul. Langsung saja, aku bersama bapakku mendaftar di pondok tersebut dan sekolahnya aku memilih di di dalam pondok juga. Aku sekolah di SMK Darul Qur’an Wonosari jurusan Multimedia, sangat cocok dengan apa yang aku harapkan. Memang Allah telah merencanakan semuanya.
Setelah semua keperluan mendaftar selesai, bapakku pulang. Tinggallah aku di sana seorang diri, asing, tak punya saudara maupun kerabat, dan tak tahu akan ke mana. Itulah, semua memang butuh proses. Aku mulai mencari teman baru, berkenalan dengan santri di sana, hingga akhirnya mengenal semua santri di sana. Dan telah memiliki beberapa sahabat dekat.
Perjalananku di pondok dan SMK berjalan dengan lancar, semua liku-liku dan rintangan telah aku lewati. Canda tawa, tangis sedih teman-temanku telah aku rasakan bersama. Semua kisah di pondok maupun di sekolah juga telah aku alami. Hingga akhirnya tiba lah saat berpisah itu. Sekolah Menengah Kejuruan Darul Qur’an Wonosari dan Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad tercinta. Kedua institusi tercinta ini saatnya aku tinggalkan. Aku akan melanjutkan ke perjalananku selanjutnya, mencari lebih banyak lagi pengalaman dan teman.

Hijrah yang ketiga
Aku mulai dilanda kebingungan untuk meneruskan jenjang pendidikan selanjutnya. Ya, jenjang perkuliahan. Aku mulai mendaftar di berbagai universitas di Jogja. Berbagai jalan aku coba, mulai dari yang beasiswa sampai yang membayar tinggi, semua aku coba mendaftar. Setelah berbagai jalan aku coba, dan jatuhlah pilihanku di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bagai sang pendekar yang turun dari gunung, (hehe.. Gunungkidul maksudnya) setelah bertapa bertahun-tahu, aku hijrah ke pondok pesantren lainnya.
Disamping kuliah, aku pun mondok di sebuah pondok pesantren tidak jauh dari kampus. Pondok Pesantren tersebut bernama Pondok Pesantren Salafiyyah Al Luqmaniyyah Yogyakarta. Hari-hari kujalani dengan penuh semangat, karena teringat orang tua yang setiap hari membanting tulang demi anaknya yang sedang menuntut ilmu di perantauan ini. Semoga mereka selalu mendapat perlindungan dan kesehatan dari Yang Maha Kuasa. Dan aku pun diberi kemudahan dalam Tholabul ‘ilmi. Amin… :)
Student City, 16 Juni 2014

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda ...

 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT