Sang
surya pagi mulai bersinar dari ufuk Timur...
Muncul
perlahan-lahan dari balik awan di sana ...
Seakan-akan
ia mengintipku yang berada di atas jemuran Pesantren ...
Kehangatan
mulai terasa menjalar ke sekujur tubuhku ..
Bersamaan
dengan itu kugerakkan jemariku di atas keyboard ...
Belajar merangkai kata demi kata dan mengungkapkan yang terserak dalam benakku ..
Mengalur
dan mengalir bersama irama sang mentari …
Izinkan aku untuk sedikit berbagi kisahk hidupku ...
Inilah Aku …
Perkenalkan
nama lengkapku Charismanto. Bisa dipanggil Charis, Aris, ataupun lainnya. Nama
yang sederhana namun pasti ada do’a di dalamnya. Do’a dan harapan kedua
orangtuaku yang selalu mengiringi
langkahku di dunia ini. Inilah sedikit kisah sepanjang sejarah dalam hidupku
sampai detik ini ..
Dunia
‘kejahiliyahan’
Aku
dilahirkan di sebuah desa di pulau seberang sana. Jauh dari keramaian kota,
jauh dari lalu lalang kendaraan, dan jauh pula dari suara celoteh manusia. Ya,
di sebuah tempat Transmigrasi program masa
pemerintahan Pak Harto waktu itu. Program Transmigrasi sebagai solusi untuk
mengatasi kepadatan manusia Indonesia di Pulau Jawa ini.
Aku
dilahirkan di sebuah daerah bernama Muara Bungo, sebuah daerah terpencil di
Provinsi Jambi. Di sanalah aku dibesarkan oleh kedua orang tuaku. Di sanalah
masa kecilku sampai usia sekitar 3 tahun. Aku teringat sebuah kejadian kecil
waktu itu, ketika ayah dan ibuku
berangkat bekerja di ladang, aku
menangis meraung-raung, hingga nenekku lah yang menenangkanku. Akhirnya Aku
bersama nenek di rumah, dan bermain bersama teman dekat rumah nenek.
Orang
tuaku asli keturunan Jawa. Ibuku berasal dari Cilacap, yang terkenal dengan
logat ngapaknya. Namun sekarang logat itu sedikit hilang seiring ia hijrah ke
pulau Sumatera. Sedangkan Ayahku, beliau dilahirkan di Jawa Timur, tepatnya
kabupaten Malang, yang terkenal dengan klub sepak bolanya Arema atau terkenal
pula dengan sebutan kota Apelnya.
Hijrah
yang pertama
Setelah
aku berumur 3 tahun, orang tuaku pindah ke Provinsi sebelahnya, di sebuah
daerah di Sumatera Selatan. Sederhana saja, alasan pindah ke sana adalah untuk
mencari penghidupan yang lebih baik. Ketika tiba di sana, semua dimulai dari
nol, mereka (kedua orang tuaku) berjuang dan bekerja sekuat tenaga. Bekerja di ladang
sawit yang telah disediakan oleh pemerintah. Dengan ketekunan, sedikit demi
sedikit mulailah usaha keras itu mulai menampakkan hasil.
Hidup
di daerah perantauan memang tidaklah semudah yang dibayangkan, di sana harus
bisa berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat asli setempat. Sebagai pendatang
kami tahu diri dan saling menolong baik sesama perantau lainnya maupun dengan
masyarakat asli setempat. Semua cobaan pun dapat kita lalui. Sampai saat ini
semua baik-baik saja. Dan semoga ke depannya menjadi lebih baik lagi.
Memasuki
dunia pendidikan
Aku
memulai sekolah tidak dimulai dari bangku Taman Kanak-kanak layaknya anak
lainnya di daerah yang sudah maju ataupun di kota-kota. Namun Aku memulai sekolah
langsung duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu usiaku pun belum genap
berusia enam tahun. Masih sangat belia bila dibandingkan dengan teman-teman
lainnya. Masa-masa menyanyi dan menggambar aku alami di bangku kelas satu dan
dua SD. Di bangku Sekolah Dasar prestasiku lumayan bisa membanggakan kedua
orang tuaku. Memang pada catur wulan pertama aku memang belum mendapat peringkat, namun memasuki catur
wulan kedua dan ketiga langsung aku mendapat peringkat dua dan tiga dan sampai semester akhir di SD
aku berturut-turut selalu menduduki peringkat pertama. Yah.. lumayan.
Setelah
lulus SD aku berencana untuk mondok di sebuah pesantren di kota yang lumayan jauh
dari daerahku. Semua telah aku siapkan, termasuk latihan mencuci dan lain-lain.
Hehe. Aku sudah mantap untuk mondok dengan salah seorang teman dari
daerahku. Namun, rencana yang telah aku susun tidak sesuai kehendakNya, aku
belum diizinkan memasuki dunia pesantren. Kepala sekolahku mengumumkan bahwasanya
akan ada pembangunan sekolah menengah pertama di daerahku. Atas dasar itulah
kami yang baru lulus disarankan untuk mengisi dan ikut membangun sekolah
menengah tersebut. Antara ya dan tidak, antara menjadi anak yang patuh kepada
guru atau yang membantah, aku disuruh untuk memutuskannya. Apabila iya, maka
sekolah akan diperjuangkan, namun apabila aku dan kawan-kawanku lebih memilih
untuk pergi sekolah keluar atau mondok, maka tidak ada murid yang sekolah di
sana. Dilanda kegalauan, atas saran dari kepala sekolah dan bapakku,
aku memilih untuk tetap di rumah dan ikut membangun dan merintis sekolah
tersebut.
Hijrah
yang kedua
Waktu
berlalu begitu cepat, masa-masa di SMP telah aku lalui, saatnya aku pergi
merantau, keluar dari tempurung melihat suasana di luar sana. Banyak tawaran
yang diberikan kepadaku untuk melanjutkan di sekolah umum favorit tidak jauh
dari desaku. Di sana aku ditawari beasiswa dan fasilitas hidup yang bagus,
namun tekadku telah benar-benar bulat. Aku memutuskan untuk pergi merantau di
pulau seberang sana, pulau yang terkenal dengan keilmuannya yang luas, dan
untuk mencari pengalaman yang lebih. Ya, dialah Pulau Jawa. Aku berangkat ke
Yogyakarta untuk mondok dan ngaji
disamping juga mengenyam pendidikan sekolah umum. Disertai do’a dari kedua orangtuaku dan dari tetangga, aku
berangkat. Ditemani oleh bapakku, aku berangkat ke Jogja melalui jalan darat.
Setelah
sekitar dua hari tiga malam, tibalah aku di sebuah pondok pesantren di
Gunungkidul. Langsung saja, aku bersama bapakku mendaftar di pondok tersebut
dan sekolahnya aku memilih di di dalam pondok juga. Aku sekolah di SMK Darul
Qur’an Wonosari jurusan Multimedia, sangat cocok dengan apa yang aku harapkan.
Memang Allah telah merencanakan semuanya.
Setelah
semua keperluan mendaftar selesai, bapakku pulang. Tinggallah aku di sana
seorang diri, asing, tak punya saudara maupun kerabat, dan tak tahu akan ke
mana. Itulah, semua memang butuh proses. Aku mulai mencari teman baru,
berkenalan dengan santri di sana, hingga akhirnya mengenal semua santri di
sana. Dan telah memiliki beberapa sahabat dekat.
Perjalananku
di pondok dan SMK berjalan dengan lancar, semua liku-liku dan rintangan telah
aku lewati. Canda tawa, tangis sedih teman-temanku telah aku rasakan bersama.
Semua kisah di pondok maupun di sekolah juga telah aku alami. Hingga akhirnya
tiba lah saat berpisah itu. Sekolah Menengah Kejuruan Darul Qur’an Wonosari dan
Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad tercinta. Kedua institusi tercinta ini
saatnya aku tinggalkan. Aku akan melanjutkan ke perjalananku selanjutnya,
mencari lebih banyak lagi pengalaman dan teman.
Hijrah
yang ketiga
Aku
mulai dilanda kebingungan untuk meneruskan jenjang pendidikan selanjutnya. Ya,
jenjang perkuliahan. Aku mulai mendaftar di berbagai universitas di Jogja.
Berbagai jalan aku coba, mulai dari yang beasiswa sampai yang membayar tinggi,
semua aku coba mendaftar. Setelah berbagai jalan aku coba, dan jatuhlah
pilihanku di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bagai sang pendekar yang turun dari gunung, (hehe.. Gunungkidul maksudnya) setelah bertapa bertahun-tahu, aku hijrah ke pondok pesantren lainnya.
Disamping
kuliah, aku pun mondok di sebuah pondok pesantren tidak jauh dari
kampus. Pondok Pesantren tersebut bernama Pondok Pesantren Salafiyyah Al
Luqmaniyyah Yogyakarta. Hari-hari kujalani dengan penuh semangat, karena
teringat orang tua yang setiap hari membanting tulang demi anaknya yang sedang
menuntut ilmu di perantauan ini. Semoga mereka selalu mendapat perlindungan dan
kesehatan dari Yang Maha Kuasa. Dan aku pun diberi kemudahan dalam Tholabul
‘ilmi. Amin… :)
Student
City, 16 Juni 2014
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...