‘Tapaki Jalan Kesuksesanmu’
Oleh : ChariS21*
Maha Karya Dakwah 2014 |
JAM di tanganku telah menunjukkan pukul dua siang, namun
aku masih berada di tengah hiruk pikuknya jalanan. Ku tancap gas sepeda motorkumenuju
tempat penjualan tiket Bus. Teriknya panas
matahari tak
menyurutkan semangatku untuk mendapatkan tiket tersebut.
Deru kendaraan bermotor
dan asap knalpot membuat udara di kota istimewa ini semakin panas dan pengap
saja.
Setelah
hampir setengah jam berpanas-panasan dan bersabar, akhirnya aku sampai di
tempat penjualan tiket bus. Singkat cerita tiket telah berada di tangan. Sesudah Aku mendapatkan tiket tersebut, Aku pun bergegas pulang ke pondok.
Sesampainya di asrama, ku rebahkan badan ini. Seakan sekujur
badan ini terasa remuk, setelah seharian mengikuti perkuliahan, mengurusi
organisasi dilanjutkan mengajar anak-anak TPA, ditambah lagi memikirkan
keberangkatanku pulang ke kampung halaman. Yah, Besok adalah hari libur panjang pondok
dan kuliahku, karena itu aku memutuskan untuk
pulang tahun ini. Mengingat sudah kurang lebih
tiga tahun belum pernah pulang kampung halaman.
***
Jadwal
keberangkatan pun telah tiba. Aku bangun pagi-pagi sekali. Setelah sholat Subuh berjama’ah dan dilanjutkan Mujahadah rutinan di pondok, Aku pun bersiap-siap dan bergegas menuju terminal penumpang bus dengan diantar
seorang kawan. Setelah sampai
di terminal, aku menunggu bus yang akan membawaku ke tempat tujuan. Sedangkan
temanku langsung pulang ke pondok.
“makasih
ya sob!”, seruku setelah turun dari sepeda motor.
“ya,
sama-sama!”, suaranya terdengar samar-samar karena dia langsung ngacir sambil
mengendarai sepeda motornya.
Lama menunggu, akhirnya bus bertuliskan jurusan ‘Lubuk Linggau’ datang juga. Itulah kota tujuanku,
kota yang amat jauh dari tempatku menuntut ilmu sekarang ini, di kota Istimewa,
Jogjakarta.
Waktu perjalanan menuju rumahku bisa mencapai dua hari
dua malam, itupun jika lancar. Karena melalui perjalanan darat. Jika melalui udara atau
naik pesawat bisa dihitung dengan hitungan jam saja. Namun lagi lagi finansial
yang menghambat cepatnya aku sampai di rumah.
Tak apalah ini juga aku sangat bersyukur karena telah
diberi kesempatan bisa pulang tahun ini.
***
Singkat cerita, perjalanan Jogja - Lubuk Linggau pun
lancar dan terkendali. Selama kurang lebih dua hari dua malam aku duduk di
dalam bus, kurasakan pegal dan kaku
seluruh badan ini. Tetapi Aku nikmati saja perjalananku dengan santai. Meski
capeknya minta ampun, aku masih harus mencari mobil ataupun ojek untuk bisa
mencapai rumahku. Jam
telah menunjukkan pukul setengah lima sore hari.
Setelah kesana kemari mencari, akhirnya kutemukan juga.
Dengan uang yang masih tersisa aku putuskan untuk menumpang mobil yang akan
menuju desaku itu. Lalu Aku pun menemui
sopirnya.
“Mau
kemana mobil ini bang? ”. Tanyaku kepada si supir.
“Mau
ke Trans Subur dik”. Jawabnya.
“Oh,
kebetulan sekali, bisa menumpang tidak
bang? ”. Tanyaku lagi.
“Oke, ayo cepat ini juga mau berangkat
mobilnya”. Jawabnya mengakhiri
pertanyaanku.
Alhamdulillah... akhirnya Aku dapat tumpangan menuju kampungku.
Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah beberapa menit menunggu sopirnya
menaikkan barang-barang, akhirnya mobil pun berangkat.
Mobil
pun mulai berjalan. Perlahan-lahan memasuki
kawasan dusun-dusun asli daerahku. Suasana mulai terasa berbeda. Suasana Pulau Sumatera yang
tentunya sangat berbeda dengan Pulau Jawa, tempatku selama ini merantau. Mulai
dari bahasa, logat, perilaku, hingga aktivitasnya.
Pohon Durian dan Duku yang berjajar pinggir jalan ditambah aroma yang
ditebarkannya menambah sejuk hatiku sore ini. Desaku adalah daerah terpencil, daerah yang lumayan jauh dari jangkauan
kota, dimana kebanyakan orangnya adalah suku Jawa yang mengadu
nasib di Pulau Sumatera ini. Seperti Aku ini, orang keturunan Jawa yang
dilahirkan di Sumatera, jika di kampus terkenal dengan istilah ‘Pujakesuma’ alias Putra Jawa
Kelahiran Sumatera.
***
Satu
jam terlewati, dari kejauhan mulai terlihat bangunan sekolah yang tidak asing
bagiku, itu adalah Sekolah Dasar Negeri Bina Karya, tempatku mengenyam
pendidikan dasar dulu. Setelah melewati sekolah terlihat rumah dengan cat
kuning yang mulai memudar, itulah
rumahku. Pohon Palem yang dulu Aku sering menyiraminya setiap pagi dan
sore, kini telah tumbuh besar menjulang tinggi setinggi tiang listrik di dekatnya.
Di
depan rumah terlihat seorang wanita paruh baya dengan anak perempuan
disampingnya. Itulah Ibu dan adik perempuanku. Setelah mobil berhenti, aku
bergegas turun dan menyambut tangan Ibu. Dengan penuh haru kucium tangan beliau.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, bergantian kucium tangan Ayahku yang dari
tadi masih berada di dalam rumah. Setelah bersalaman, aku kembali ke mobil
untuk menurunkan barang-barang bawaanku. Kubawa semua barang ke dalam rumah.
Suasana sungguh sangat berbeda dengan dulu. Kurang lebih tiga tahun lalu kutinggalkan rumah ini.
Setelah masuk rumah, Aku pun langsung ditanya-tanya oleh mereka. Ditanya mengenai
perjalananku dari Jogja hingga akhirnya menyinggung kuliah, pondokku, dan
lain-lain. Aku pun menjawab apa adanya.
“Gimana
perjalanannya? lancar?”, Bapakku membuka
obrolan.
“Ya
Pak, lancar-lancar saja kok”, Aku langsung menjawabnya.
“Kuliahmu?
Ngajimu? Sampai kitab apa?” Bapakku bertanya lagi. Kali ini pertanyaannya
sangat mengena. Karena menyingung tentang tanggung jawab sebagai anak yang
berbakti kepada orang tua dan konsekuensi sebagai seorang pelajar terhadap yang
ia pelajarinya selama ini.
“Hmm..
baik-baik saja kok pak, InsyaAllah pak.. semuanya beres”, jawabku sekenanya.
“Ya udah, mandi-mandi dulu sana di
belakang”, seru Ibuku yang dari tadi masih sibuk dengan urusan
dapur.
“Ya
bu”, jawabku dan langsung menuju kamar mandi di belakang
rumah.
Karena teringat hari ini adalah hari terakhir bulan Sya’ban dan besok sudah
memasuki bulan suci Ramadhan, aku pun langsung niat mandi karena masuknya bulan
Puasa Ramadhan. Setelah mandi aku sholat ‘Ashar dan makan yang telah disiapkan
ibuku. Menjelang maghrib aku menuju mushola tidak jauh dari rumah untuk
mengikuti syukuran yang biasa diadakan masyarakat sekitar karena masuknya bulan
suci Ramadhan.
Setelah acara syukuran selesai, maka sholat Tarawih
pertama pun dimulai. Langsung saja Aku ditunjuk menjadi Bilal Tarawih oleh Pak
Badrudin, guru ngaji ketika kecil dulu. Mungkin karena aku satu-satunya yang dari pondok
pesantren sendiri di mushola. Dengan sebisaku, aku pun melaksanakan perintah
tersebut. Karena di pondok juga pernah ditugasi menjadi Bilal Tarawih, Aku pun mencoba
mempraktekkannya kembali.
“Asholaatu Sunnatat Tarowiihi
Rok’ataini Jaami’atar Rohimakumullah...”, seruku dengan lantang.
“Asholaatu Laa Ilaaha Illallah...”, suara para
jama’ah pun mengikuti setelah suaraku.
***
Sholat Tarawih perdana di kampung pun telah selesai. Tak
seperti di pondok, sholat Tarawih bisa sampai dua jam karena memang imamnya
membaca kurang lebih satu setengah juz Al Qur’an dalam sekali tarawih. Di sini
hanya sekitar setengah jam saja sudah selesai karena hanya membaca surat-surat
pendek, itupun dibaca dengan cepat. Seperti biasa, setelah
sholat tarawih dilanjutkan dengan tadarus.
Mula-mula para ibu-ibu yang bertadarus, dilanjutkan anak-anak. Setelah selesai
semua baru giliranku membaca Al Qur’an. Kubaca Al Qur’an dengan tajwid yang
telah diajarkan di pondok. Hampir dua jam bertadarus, akhirnya kantuk mulai menyerangku. Aku
pun tak kuasa lagi menahan rasa kantukku. Aku putuskan pulang ke rumah. Jam
baru menunjukkan pukul sebelas malam, lalu aku menyalakan TV. Sambil
tidur-tiduran aku menonton TV.
***
“Mas, tangi mas, sahur sahur”, tiba-tiba adikku membangunkanku.
Tak terasa aku semalam
tertidur di depan
TV yang sudah padam.
Dengan mata yang masih sedikit terpejam dan mulut menguap, aku bangun. Dengan sedikit
terhuyung-huyung pula aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu menuju meja
makan bersama ibu bapak dan adikku. Makan sahur kali ini juga berbeda dengan di
pondok.
Jika di pondok makan dulu makannya menggunakan sebuah nampan bersama teman-teman dan sambil
bergurau ke sana kemari. Tidak untuk kali ini, makan sahurku sedikit tenang dan
tidak banyak bicara.
Setelah selesai menyantap makan sahur, sambil menunggu
waktu Subuh Aku sholat Tahajjud seperti biasa kulakukan waktu di pondok.
Tidak berapa lama suara adzan pun terdengar, aku bergegas
menuju mushola bersama adikku untuk sholat Subuh berjama’ah. Suasana mushola
tampak hidup karena banyak yang ikut meramaikannya. Setelah sholat Subuh,
adikku mengajakku untuk jalan-jalan keliling kampung bersama teman-teman sebayanya. Tetapi
aku menolak ajakannya dan kulanjutkan aktivitasku untuk membaca Al Qur’an
di mushola saja. Begitulah kurang lebih kegiatan Ramadhanku selama sebulan di kampung
halaman.
***
Tak
terasa Ramadhan telah berlalu. Berganti dengan hari kemenangan esok pagi. Hari
dimana semua orang bersih dari dosa ibarat bayi yang baru lahir ke dunia. Aku
kali ini ditugaskan menjadi ‘Amil zakat fitrah di mushola. Ditemani dua orang
lainnya aku melaksanakan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab. Setelah
semuanya selesai, aku pulang ke rumah untuk mandi sore dan persiapan takbiran.
Setelah makan aku bergegas menuju masjid agung tak jauh dari rumah. Kumandang
takbiran dari setiap mushola mulai terdengar malam ini. Suara petasan
pun tak kalah serunya menambah suasana menjadi ramai. Para muda mudi dan
anak-anak ikut merayakan dengan takbir keliling desa. Sungguh ramai suasana
saat itu.
Namun lagi-lagi aku memilih di masjid saja, bersama
beberapa orang mengumandangkan takbir melalui pengeras suara secara bergantian,
dan diiringi beberapa rebana yang ada di masjid.
***
“Kukuruyuuk...
kukuruyuk“,
Suara ayam jago pun bersahut-sahutan menandakan pagi
telah tiba. Aku segera bangun dan mengambil air wudhu lalu sholat Subuh.
Setelah itu mandi dan mengenakan pakaian putih, seputih dan secerah perasaanku
hari ini. Karena hari ini adalah hari raya kemenangan umat Islam seluruh dunia,
setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan nafsu dan dapat melewatinya
hingga hari ini. Aku pun makan pagi karena sunnah makan sebelum berangkat
menuju masjid menunaikan sholai ‘Ied.
Setelah
makan, aku pun berangkat menuju masjid bersama adikku. Ibu bersama para ibu-ibu
yang berjalan beramai-ramai. Sedangkan Bapak mengendarai motornya. Jalanan
dipenuhi orang – orang yang akan menuju ke masjid.
Suara
takbir terdengar dari pengeras suara masjid maupun dari orang-orang yang ikut
bersuara di setiap sudut masjid. Bial pun maju ke depan para jama’ah untuk
melaksanakan tugasnya. Setelah itu Khotib naik ke atas mimbar dan berkhotbah.
Baru setelah khotbah selesai dilanjutkan sholat ‘Ied. Selesai sholat, seluruh jama’ah diminta untuk tidak
beranjak dari tempat
duduknya, namun berdiri untuk saling bersalaman sambil diiringi sholawat. Semua
merasakan bahagia bercampur dengan haru saat bersalaman dengan satu sama
lainnya.
Selesai bersalaman, semua pulang ke rumah masing-masing.
Dan aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bapakku. Sungkem adalah
tradisi meminta maaf ataupun meminta do’a restu kepada orang tua.
Dengan
kerendahan hati ku minta maaf kepada mereka atas kesalahan-kesalahanku yang
telah kuperbuat selama ini. Baik yang kusengaja maupun yang tidak. Setelah itu
aku ke rumah-rumah tetangga bersama adikku, beramah-tamah dan saling meminta
maaf. Dilanjutkan ke rumah guru-guru sekolah dan ngaji ketika kecil dulu. Dan
akhirnya sampai menjelang sore baru selesai semua kunjunganku.
***
Hari
pertama lebaran kuhabiskan dengan berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan guru-guru terdekat. Hari kedua aku berencana mengunjungi
guru-guru yang agak jauh, yaitu di kampung sebelah. Aku bersama teman-teman lamaku mengunjungi
rumah mereka satu persatu. Di sana kami bercerita mengenai kabar kami selama
ini. Tak lupa kami meminta do’a dari mereka supaya dalam menuntut ilmu maupun
yang sudah bekerja diberi kelancaran.
***
Hari Raya
Idul Fitri tahun ini telah selesai.
Semua warga kembali beraktivitas seperti biasa. Penduduk di desaku
mayoritas berprofesi sebagai petani yang mengandalkan lahan pertaniannya demi
kelangsungan hidup mereka, termasuk orang tuaku. Aku pun turut membantu mereka
dalam bekerja di kebun sawit.
Liburan
panjang membuatku seakan lupa dengan kesibukan kuliah dan mondokku di pulau seberang sana. Aku pun mencari
informasi kapan jadwal masuk perkuliahan dan pondokku. Untuk menuju warung
internet di kampungku harus menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu. Dengan
ditemani seorang teman akhirnya aku sampai di warnet.
Tidak
sampai setengah jam aku menghabiskan waktu di depan komputer warnet
itu. Karena tujuan awalku hanya mencari info masuk mondok dan perkuliahan saja,
maka aku pun cepat-cepat pulang. Setelah tanggal kapan masuk kuliah dan
jadwal-jadwal lainnya aku ketahui, baru aku memikirkan tiket menuju kota
istimewa itu.
Setelah dirasa
cukup ada biaya untuk membeli tiket, aku pun memesan tiket. Dengan memohon do’a
restu kedua orangtua dan guru-guru serta berbekal seadanya aku berangkat menuju
kota Jogja lagi, menyambung perjalanan panjangku untuk menyongsong masa depan
lebih baik dan lebih cerah lagi. Disertai kemantapan hati kusambut segala yang
akan ada di hadapanku nanti. Kembali melanjutkan menapaki jalan kesuksesanku.
Jogja.. I am
coming ..
Notes:
-
Trans Subur adalah nama desaku. Yang mana mayoritas penduduknya adalah
para Transmigran dari Pulau Jawa.
-
Sungkem merupakan
adat orang jawa dalam berbakti kepada orang yang lebih tua, dengan mencium
tangannya dan sambil menundukkan kepala di hadapan mereka. Biasanya dilakukan
ketika ada suatu acara.
-
Lubuk Linggau adalah nama kota pusat
pemerintahan kabupaten daerahku.
Bina Karya
Village, Agustus
2014/Ramadhan 1435 H
*sangpemimpi
hey, ajarin aku menghias blog donk ^_^,, hhi :D
BalasHapusmana ini cerpennya?? kok gak bisa dibuka?? :(
BalasHapusHmm.. ya sini tak ajari, kan sing butuh 'moro'.. wkwk. :)
BalasHapus