Kawan, belajar
itu tak hanya di bangku sekolahan maupun perkuliahan. Belajar itu tak harus
dalam ruang kelas, duduk manis dan mendengarkan ceramah ngalor ngidul
pak dosen menjelaskan teori sampai berbusa-busa. Belajar itu tak melulu seperti
ketika kita di kelas mengutarakan pendapat dan berdiskusi dengan teman sekelas
tentang teori dari buku. Belajar itu juga tak harus selalu dengan manusia.
Tetapi, di
sinilah belajar sesungguhnya. Belajar dari pengalaman di dunia luar kelas yang
luas tanpa batas. Belajar memahami persoalan masyarakat dan ikut menjadi bagian
dari mereka. Dengan belajar dari pengalaman lah semua menjadi lebih mudah
dicerna dan merasuk ke dalam sanubari. Maka momentum KKN (Kuliah
Kerja Nyata) ini lah menjadi kesempatan untuk para mahasiswa membandingkan dan
mengukur antara teori yang telah didapat dari ruang kelas di kampus dengan
realita sosial yang
terjadi di masyarakat. Di sinilah, di
Universitas Kehidupan. Kampus Kliwonan.
Ada hal menarik ketika aku baru memasuki malam tarawih pertama di tempat
KKN-an. Meskipun malam itu telah memasuki malam ke 16 ramadhan. Yah, menurutku sangatlah menarik. Malam itu, aku sengaja setelah sholat
tarawih tak langsung pulang ke rumah pak dukuh. Aku menyempatkan untuk
mengikuti tadarusan bersama beberapa pemuda dusun setempat. Selain itu pula
agar aku lebih dekat dengan masyarakat setempat.
Di sela-sela kami tadarus dan menikmati suguhan yang telah disiapkan
ibu-ibu, aku mengobrol dan berbagi cerita dengan seorang bapak-bapak yang tak
lagi bisa dibilang muda. Pak Yan, begitulah ia dipanggil. Nama lengkapnya Yandoko. Ia adalah Rois (sebutan takmir atau pengurus mushola di dusun itu). Usianya
sekitar 60-an lebih. Namun semangatnya tak bisa diremehkan dengan anak-anak
muda zaman sekarang ini. Bahkan melebihi. Karena dengan usianya yang semakin
uzur itu, tak membuat semangatnya surut untuk pergi melangkahkan kaki menuju
mushola.
Yang membuat saya kagum atas pribadi Pak Yan ini adalah cerita-cerita tentang masa muda dan pengetahuannya. Baik
pengetahuan umum maupun agama. Ia memiliki ingatan yang bisa dibilang cukup
kuat. Ia memiliki kelebihan itu semenjak kecil hingga usianya yang semakin
sepuh sekarang ini. Ia pandai berbahasa Inggris dan Jepang meskipun tak pernah
belajar di dalam kelas dan ia hanya sempat mengenyam bangku sekolah menengah
pertama yang dulu merupakan sekolah didikan Belanda dengan guru-gurunya semua
adalah orang Belanda serta beragama Khatolik. Namun agama tak menjadikannya
lantas menghindari untuk sekolah di sana. Ia mengambil sisi positifnya dengan
melihat kedisiplinan yang ada.
Ia juga bercerita banyak tentang sejarah. Baik itu sejarah negara-negara di
dunia, bahkan Ia hafal semua presiden negara di dunia. Ia tahu tentang
konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah. Ia ceritakan panjang lebar
sejarahnya. Ia tahu biografi para tokoh pendiri negara ini. Cerita tentang
kemerdekaan bangsa ini pun tak luput ia bicarakan.
Sejarah tentang penyebaran agama Islam di Pulau Jawa ini pun ia menguasainya.
Mulai dari cerita perjuangan dan peristiwa-peristiwa para wali ketika berjuang
menyebarkan Islam hingga terpecah belah seperti sekarang. Selain itu pula,
cerita tentang wayang pun ia masih hafal di luar kepala. Ia juga bercerita
tentang kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa hingga berdirinya kerajaan Islam
Mataram.
Ia mengatakan bahwa selain membaca buku, ia juga sering bergaul dengan
banyak orang, terutama orang-orang Belanda dan Jepang kala itu serta ia telah
mengembara di berbagai tempat dan belajar dari pengalaman ketika di sana. Ia
pernah bekerja di Malaysia dan pulang kemudian ke Jambi, setelah sebelumnya
mengajar di sebuah tempat rehabilitasi narkoba di dusun Padaan Wetan waktu itu.
Meskipun pendengarannya saat ini sudah mulai berkurang. Hingga ia menggunakan
alat bantu semacam headset yang dipakai di telinga sebelah kirinya untuk
bisa mendengarkan orang lain berbicara.
Sungguh banyak cerita dan pelajaran yang aku ambil malam pertama itu di
Dusun Kliwonan. Pak Yan bisa saja aku sebut sebagai Dosen yang tak pernah ‘makan’ bangku
perkuliahan dan memiliki ijazah. Tanpa terasa malam hampir beranjak berganti hari. Pukul dua belas
kurang seperempat aku pamit pulang. Meski belum selesai beliau menceritakan
semuanya, aku meminta ngobrol dan diceritakan kembali tentang banyak hal pada
malam esoknya.
Universitas Kehidupan, 21
Juni 2016
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda ...