BREAKING

Rabu, 01 November 2017

Sisa sisa Coretan Pejuang Skripsyuuut


               
SKRIPSI. Kata ini sudah sangat biasa terdengar bagi mereka yang telah menginjak usia semester tua. Ya, semester tua itu ketika sudah sekian lama berada di kampus menurut kalender akademik. Usia 4 tahun atau 8 semester mungkin sudah cukup untuk seseorang mahasiswa mendapatkan predikat “Mahasiswa Semester Tua”. Ini menurut kalender akademik loh ya... bukan menurut kalendernya para aktivis dengan sejuta ide-ide kritisnya yang sangat ideologis. Hehehe.. tapi saya yakin mereka tidak anarkis. Apalagi apatis. Ya, para aktivis mahasiswa, yang (katanya) memperjuangkan hak rakyat jelata. Skripsi atau tugas akhir bagi yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi guna mendapatkan gelar sarjana atau diploma. Agar bisa mengenakan toga, berfoto ria bersama teman dan keluarga. Yah, itulah sedikit istilah yang mungkin juga sangat sederhana. Tapi toh, istilah maupun realitanya tidak akan jauh dari itu.

Senin, 04 September 2017

Menyembelih Nafsu Hewani dan Berkorban Demi Agama, Bangsa dan Negara*


Idul Adha yang biasa juga disebut dengan Hari Raya Qurban atau Idul Qurban telah tiba. Gema takbir dan tahmid pun masih saja terlantun dari para santri dengan tiada hentinya. Bahkan hingga pagi menjelang beberapa jam ke depan nanti, hingga pelaksanaan sholat Ied dimulai. Menggema di setiap sudut pelosok negeri. Begitu pula di negeri eLQi Jannaty. Lomba karnaval antar TPA dan masjid masih saja belum diakhiri. Lantunan pujian ke hadirat Ilahi Robbi itu sungguh membuat diri ini semakin meresapi akan kebesaranMu. Di masjid, rumah, maupun jalan-jalan dengan berbagai pernak-perniknya yang menghiasi. Kemeriahan yang semoga saja tak sekedar seperti euforia kemenangan. Namun dijadikan sebagai batu pijakan guna mewujudkan mimpi menuju bangsa yang mandiri dengan bekal agama yang mantap tertanam dalam setiap diri. Tentunya dengan memacu semangat generasi muda dalam menghidupkan malam-malam mustajab ini.

Minggu, 13 Agustus 2017

Membaca, Menulis Kemudian Bangkit !

Wahyu yang pertama kali diterima oleh baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayat yang awalnya berbunyi Iqro! Yang artinya Bacalah. Ya, surat Al Alaq ayat satu sampai lima. Sebuah fi’il amr dalam ilmu nahwu yang khitob (sasarannya) adalah untuk satu orang. Ini berarti bahwa perintah tersebut untuk setiap orang. Meskipun saat itu perintah hanya terkhusus untuk Nabi saja. Nah, kalau saat ini bisa kita jadikan acuan dalam kehidupan kita. Selama itu positif, kenapa tidak?? Kan, tidak apa-apa tho… hehe. Yang berarti setiap orang memiliki tanggungan untuk melakukannya. Ini tafsiran yang mungkin bisa diambil sisi baiknya. Kalau tidak ada silahkan abaikan saja. 

Minggu, 06 Agustus 2017

Sekilas Profil Abah KH. Najib Salimi (1971-2011)

Nama lengkap beliau adalah Najib Mambaul Ulum, putra kedua dari KH Salimi, pengasuh PP A-Salimiyyah Cambahan Nogotirto Gamping Sleman.
Beliau dilahirkan pada Selasa Pon 5 Januari 1971 di daerah Mlangi, sebuah perkampungan di Sleman dimana terdapat makam leluhur beliau yaitu Mbah Nur Iman.
Beliau beristrikan satu orang, yaitu Hj Siti Chamnah, putri dari KH  Khudlori, pengasuh PP Al-Anwar Ngrukem Sewon Bantul. Beliau dikaruniai tiga orang anak, yaitu Muhammad Abdullah Falah, Muhammad Alwy Masduq, dan Abdah Iqtada.

Abah Najib dan Prinsip Rela Berkorban Demi Orang Lain


 Abah Najib Salimi. Begitulah para santri meneyebutnya. Siapa santri Ponpes Al Luqmaniyyah yang tak mengenal beliau. Meskipun telah tiada, namun nama dan jasanya tentu akan abadi selamanya. Akhlak mulia beliau sungguh sangat patut, bahkan harus dijadikan suri tauladan bagi santri eLQi dan bagi siapapun di dunia ini. Akan begitu banyak kisah menarik dan penuh nilai-nilai kemuliaan pada diri beliau jika semua orang yang pernah hidup bersama beliau berkesempatan menceritakannya semua. Meski hanya bertemu sekejap atau bahkan hanya sekedar bertatap muka sejenak.

Selasa, 25 Juli 2017

Kau Puisi


(Oleh : Sang_jejak)

Kau, begitu dalam
Tak pernah sampai aku menyelam
Selaksa kedalaman makna sebuah puisi
Yang tak pernah mampu kuresapi
Kau adalah sastra
Sulit diurai dan dicerna secara bahasa
Namun bagiku selalu saja berarti
Sambil terus menari dalam naluri
Kau itu bagai rima
Selalu memberi keindahan dalam bait-bait kehidupan
Dalam kehadiran maupun ketiadaan
Meski harus kurekam dalam keimajinasian
Kau itu puisi
Mampu menampung rasa kesunyian
Dalam bait-bait dan sajak yang penuh arti kerinduan
Yang mungkin tak pernah bisa kau sebut indah dalam setiap tidurmu
Mungkin terlalu dalam untuk ku bisa menyelam
Di dasar palung samudera harapan
Kau tenggelamkan aku dalam kedalaman
Karena kau, PUISI



Hotel Bintang Fajar, 13 Juli 2017
Charismanto (13210095)

Visit my blog : www.jejakauthor.blogspot.co.id

Kamis, 13 Juli 2017

Bina Karya “Darussalam”


Sumber Foto : Google

Semilir angin sore menyambutku memasuki sebuah gerbang desa bertuliskan “Bina Karya Darussalam”. Ya, itu adalah gerbang desaku. Semoga apa yang dituliskan di gerbang itu menjadi do’a bagi seluruh penduduknya. Benar-benar menjadi “Desa Keselamatan” yang menyelamatkan semua masyarakatnya dari segala hal yang buruk, terlebih itu keselamatan dunia akhirat. Amiin...

Desaku merupakan sebuah desa dengan penduduk mayoritas masyarakat transmigrasi dari Pulau Jawa. Perkembangan Islamnya memang belumlah seperti daerah-daerah di seberang sana. Masih banyak orang awam yang belum mengerti betul tentang Islam, orang-orang jahat dan kurang beres otaknya pun masih saja ada, ditambah lagi dengan jalan dan segala fasilitas yang minim. Namun aku yakin suatu saat Islam akan tumbuh subur di sini, orang-orang baik pun akan semakin banyak, dan jalan-jalan serta semua kebutuhan pokok aman terkendali. Hehehe.

Memang masih menjadi pe-er bersama supaya desaku benar-benar menjadi desa “Darussalam”. Terlebih aku dan teman-teman yang saat ini jauh dari kampung halaman, merantau ke negeri seberang yang mesti setahun sekali pulang. Itu pun hanya pada saat lebaran. Yah, semoga saja selalu diberi kelancaran apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Menjadi manusia berguna bagi peradaban. Ah, sungguh meyakinkan memang.  

Oke, aku bermaksud untuk sedikit bercerita selama aku pulang saat lebaran. Hehehe... boleh kan? Aku terakhir pulang dua tahun lalu saat lebaran Idul Fitri, melihat kondisi kondisi kampung halaman serta handai taulan. Kini, aku telah berada di rumah lagi. Menikmati liburan sambil makan jajan lebaran. Hehehe...

Inilah kisahnya....
Di sini berbeda dengan di Jogja tempatku selama ini berada. Di Jogja apapun ada, sedangkan di sini harus usaha. Tapi memang begitulah adanya. Namun aku kan selalu merindu tatkala sudah di Jogja sana.

Di sini juga berbeda dengan di Jogja. Tak ada supermarket ataupun minimarket di pinggir jalan seperti di sana. Terlebih bioskop yang selalu tersedia kapan saja. Tetapi orang-orang di sini selalu terlihat bahagia. Meskipun sepertinya juga merana. Hahaha..

Bedanya di sini dengan di Jogja, tak ada pasar yang setiap hari sayur mayur segar terjejer rapi. Harus menunggu Hari Kamis pagi jika di desaku atau Hari Minggu di desa tetangga. Dengan jalan berlubang mengangga dan siap menjatuhkan siapa saja. Namun aku selalu berdoa semoga kebutuhan pokok selalu tecukupi dan tersedia.

Lagi, beda di sini dengan Jogja yaitu tentang pembangunan. Jika di Jogja pembangunan sudah biasa dan sangat mudah terlaksana. Di sini, mungkin harus menunggu dan bersabar dengan disertai kesungguhan berusaha. Janji-janji pemerintah saat kampanye sudah sangat biasa. Sedikit membuat kecewa siapa saja. Ah, mungkin saja.

Lagi-lagi ini yang berbeda. Di Jogja bisa makan bakso dan mi ayam ataupun sate kapan saja. Meski syaratnya ada uang. Hehhee. Jika di sini meski ada uang, tak mesti setiap hari ada harapan menikmati kuliner khas Indonesia. Harus menunggu saat gajian ataupun pergi ke desa tetangga. Hahaha..  itu sudah biasa. Tak usah terlalu dirasa.

Mengeluh itu kurang bijaksana. Berusaha dan selalu berdoa adalah jalannya. Kerja keras serta iringan do’a adalah segalanya. Mari berdoa, semoga Bina Karya senantiasa dalam lindunganNya. Cita-cita menjadi Darussalam tercapai tercapai dan terlaksana. Tentu dengan tekad yang kuat untuk berubah, menuju jalan yang diridhoiNya. Menaklukkan rintangan jalan berlobang serta semua yang buas memangsa siapa saja.

Terima kasih atas perhatiannya.

Rabu, 12 Juli 2017

Pulang dan Kerinduan


Apa yang kau tahu tentang Pulang?
Ini bukan soal uang atau menang di perantauan
Apa yang kau tahu tentang Kerinduan?
Ini bukanlah soal siapa yang kau sayang
Semua ini tentang pulang dan kerinduan seorang anak rantau di pulau seberang
Yang tak mesti membawa uang atau perihal kemenangan
Justru pulang dan kerinduanlah yang jadi uang dan kemenangannya
Bisa pulang berarti menang
Tak membawa uang bukan berarti tak pernah berjuang di perantauan
“Pulang malu tak pulang rindu”
Kalimat itu yang menjadikan hati gundah gulana
Deretan kata itu pula yang seakan menjadi rasa takut yang menyerang
Dengan peluru-peluru tekad membulat dalam dada yang selalu membara
Meski kelam menyambut di pelataran
Ia tetap berharap kelam datangkan mendung, lalu hujan
Tuk basahi jiwa-jiwa yang sedang dirundung malang dan bimbang
Memilih pulang atau tetap berada di negeri orang
Akhirnya, ia pulang dengan sejuta kerinduan
Disambutlah dengan penuh kasih sayang
Oleh sosok yang tak pernah lelah berjuang
Ia sebut sosok itu dengan nama IBU, sepanjang zaman...

Bina Karya, #duasyawalempatbelastigadelapanhijriah

#mogaberkah

Selasa, 11 Juli 2017

Agama, Kerja, dan Wanita



Pekerjaan dan perjodohan saat ini sedang mengganggu pikiran…
Di satu sisi harus kubaikan, karena harus fokus pada yang lain…
Namun di sisi lain perlu untuk diperhitungkan dan direncanakan…
Ah, dimana-mana selalu saja orang-orag selalu itu yang ditanyakan.
Tentang pekerjaan dan perjodohan.
Tentang pekerjaan, “Kuliah jurusan apa?”,
 “Besok jika sudah lulus kerjanya apa?”
dan yang terakhir “Sudah semester berapa?”.
Itulah kurang lebih pertanyaannya…
Sedangkan mengenai jodoh sudah sangat biasa dengan “Kapan nikahnya?”
ya, begitulah.. Tak mengapa.
Sudah sangat biasa jika yang ditanyakan persoalan dunia..
Meski yang selalu kupikirkan adalah tentang agama dan akheratku yang masih saja kurang sempurna. 
Pidato dan ceramah harus bisa di mana saja…
Beribadah yang tak pernah lupa kepadaNya…
Terlebih saat bersama orang-orang di luar sana...
Tuntutan harus bisa adalah biasa…
Menanggung malu itu sudah terlalu sederhana…
Dibandingkan dengan keadaan yang selama ini dirundung nestapa...
Agama yang masih selalu di menjadi sampingan dan terpinggirkan demi yang lainnya…



Bina Karya, 29 Juni 2017

Liburan dan Lebaran


Foto : Google


Assalamualaikum sahabat sahabatku sekalian…
Semoga senantiasa berada dalam lindunganNya...
Tak terasa sudah sebulan penuh kita menjalankan kewajiban sebagai umat muslim untuk berpuasa ramadhan. Ya, berpuasa menahan apa saja yang dilarang Allah dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Berpuasa untuk berkata yang menyakitkan sesama, berpuasa untuk tidak berbuat hal-hal yang menjadikan orang lain merasa tersinggung, dan berpuasa atau menahan untuk tidak mengeluh atas segala kewajiban kita sebagai hamba yang tentunya adalah beribadah kepadaNya. Beribadah dengan segala profesi dan posisi yang ada pada setiap diri pribadi masing-masing. Baik yang sedang kuliah, bekerja, maupun yang masih santri. Bahkan tak hanya menahan, kita harus melakukan hal-hal yang baik dan diridhoi Allah serta menahan diri dari hawa nafsu yang senantiasa mengajak kepada kemaksiatan dan dari hal-hal tak bermanfaat lainnya.
Setelah sebulan penuh berpuasa, kini tiba saatnya beralih bulan dari bulan penuh ampunan, bulan penuh rahmat serta bulan di mana kebutuhan pokok harganya meroket hingga mencekik kalangan ibu-ibu menengah ke bawah menuju yang namanya Bulan Syawal, bulan kemenangan atau bulan banyak dijumpai jajanan. Hehehe... Banyak hal menarik yang tentunya tak bisa dilewatkan begitu saja pada bulan ini. Terutama tentang kerinduan dan tradisi pulang ke kampung halaman. Ada cerita dan kisah tersendiri bagi mereka yang mengalaminya.

Tradisi Mudik yang Unik
Indonesia dan orang-orangnya memang unik. Liburan saat lebaran menjadi momen paling ditunggu-tunggu bagi masyarakat Indonesia dan siapa saja yang sedang berada di perantauan. Rindu akan kampung halaman dan sanak saudara menjadi alasan setiap orang untuk pulang. Keinginan untuk pulang, rindu akan kampung halaman dan bertemu dengan kerabat tentu selalu ada pada setiap diri seseorang yang sedang berada di negeri orang. Momen saat lebaran merupakan momen yang sangat tepat untuk pulang ke kampung halaman. Mengapa demikian? Karena disamping bertepatan dengan hari libur nasional atau tanggal merah, orang-orang yang tengah bekerja libur, yang sedang sekolah atau kuliah pun libur. Sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia memilih momen itulah untuk pulang ke kampung halaman. Selain itu, biasanya liburan saat lebaran waktunya jauh lebih panjang dibandingkan hari-hari libur lainnya. Jika saat Hari Raya Idul Fitri bisa sekitar 2 hingga 3 bulan (biasanya khusus yang kuliah) hehehe.. tentu berbeda lagi dengan yang bekerja atau yang sedang nyantri yang biasanya lebih cepat masuknya.
Sedangkan jika hari libur selain Idul Fitri biasanya hanya beberapa hari saja. Alasan inilah menjadi momen untuk saling bermaaf-maafan dengan kerabat atau tetangga di kampung. Tradisi pulang di saat menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri ini lazim disebut dengan istilah Mudik oleh masyarakat Indonesia.

Pulang Malu Tak Pulang Rindu
Namun siapa sangka, di saat yang lain pulang dan liburan di saat lebaran, masih saja ada sebagian orang yang merasa malu untuk kembali ke kampung halaman meskipun hanya sekedar melihat kondisi keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Mereka sungguh dilema ketika ingin pulang ke kampung halamannya. Bila pulang merasa malu namun jika tidak pulang hati rindu serasa dihantam palu, sakit. Banyak alasan yang menjadi halangan mengapa mereka serasa berat melangkahkan kaki untuk pulang. Salah satunya karena faktor kesuksesan ataupun hasil yang tentunya akan ditanyakan keluarga atau tetangga. Entah itu soal pekerjaan, pernikahan, perkuliahan, atau kekayaan selama di perantauan. Tentu alasan tersebut menjadi beban mental sehingga seseorang merasa dilema akan pulang atau tetap di perantauan saja.
Pertanyaan yang sering dilontarkan biasanya “Kapan nikah?”, “Kapan wisuda”, “Kapan bawa calonnya?”, “Sudah dapat gaji berapa juta?” atau “Sudah membangun rumah belum?” (entah itu rumah mewah atau rumah tangga). Ya mungkin kurang lebih seperti itu pertanyaan yang sering ditanyakan para kerabat, sahabat atau tetangga dekat. Tidak jauh-jauh dari kata “kapan” dan “sudah”. Mengapa saya tahu? Mungkin karena sedikit berpengalaman dan memang pernah mengalami hal semacam itu. Eh, malah curhat.. hehehe.

Mudik bikin Ribet dan Panik
Mudik biasanya sedikit membuat seseorang panik. Ya, urusan mudik tak jauh-jauh dari soal transportasi dan tiket serta tetek bengek seperti oleh-oleh khas daerah perantauan maupun barang-barang yang akan dibawa ke kampung. Dimulai dari tiket yang harganya melonjak naik dari harga normal terlebih jika terlalu mepet dengan lebaran hingga soal oleh-oleh tadi. Tiket bisa naik hingga dua kali lipatnya harga normal. Baik itu transportasi bus, pesawat, atau kereta api. Ini mungkin bagi mereka yang tidak mempunyai atau tidak naik kendaraan pribadi. Lain ceritanya jika menggunakan kendaraan pribadi. Tentu sedikit berbeda dengan mereka yang mudik dengan transportasi umum. Memang semua ada kelebihan dan resikonya sendiri-sendiri. Silahkan sahabat pilih dan coba sendiri ya... hehe.
Setelah persoalan tiket, oleh-oleh atau barang-barang yang akan dibawa pun biasanya diperhitungkan. Akan membawa oleh-oleh khas apa dan berapa banyaknya tentu dipikirkan beberapa hari sebelumnya. Hal ini akan berpengaruh pada saat perjalanan, jika terlalu banyak barang yang dibawa tentu akan sangat merepotkan. Terlebih bagi mereka yang menggunakan kendaraan umum. Oleh-oleh yang dibawa itu nantinya akan dibagikan kepada saudara atau tetangga sekitar. Inilah ciri khas masyarakat Indonesia yang tak hanya mementingkan diri pribadi, namun juga mementingkan orang lain di kampung halaman. Karakter bangsa seperti inilah yang seharusnya dilestarikan.
Setelah berangkat dan berada di perjalanan, jalanan macet, pengalihan jalan, serta berjubelnya penumpang (terutama di terminal dan stasiun kereta api) menjadi pemandangan yang sangat biasa bagi mereka yang selalu mudik menggunakan kendaraan umum. Banyak pedagang asongan, penumpang, petugas, bahkan pencopet pun berbaur menjadi satu dalam hiruk pikuknya suasana mudik. Tidak jarang yang kecopetan dalam kereta api, terminal maupun stasiun. Penumpang lah yang harusnya ekstra hati-hati menjaga barang bawaannya. Karena pencopet tidak bisa disalahkan (sebelum disalahkan memang sudah sangat salah kok). Ini pula menjadi pe-er bagi pihak yang berwenang dalam urusan per-mudikan. Hehehe... ya, semoga saja masalah per-mudikan di Indonesia akan lebih baik lagi ke depannya. Amiin...
Mungkin itu sedikit gambaran atau yang saya alami saat itu. Namun tentu sisi baik atau positifnya ada. Masih banyak orang baik di sekitar pencopet itu tadi, masih banyak yang tidak membuang sampah sembarangan, masih banyak yang mau membantu saat di perjalanan, tak lupa pula masih banyak cewek cakep apalagi jika mau senyum. Hehehe. Apalagi yang berkerudung. Sehingga membuat udara panas dan polusi di jalanan adem serasa AC seketika. Weka weka. J

Silaturrohim yang Sangat Berkesan
Di dalam ajaran Islam, Silaturrohim atau menjalin persaudaraan antar ummat islam sangatlah dianjurkan. Karena silaturrohim banyak manfaatnya, salah satunya silaturrohim dapat melancarkan rezeki, mempererat tali persaudaraan, menghilangkan permusuhan antar tetangga dan teman. Tak lupa pula agar dimudahkan jodohnya. Eh, itu bukan hal utamanya. Tetapi mungkin bisa juga diartikan sebagai rezeki tadi. Hehehe...
Biasanya kegiatan silaturrohim atau saling berkunjung di saat lebaran dilakukan sesudah sholat Idul Fitri hingga beberapa hari di Bulan Syawal. Setelah pulang dari sholat Ied, meminta maaf kepada ibu-bapak serta keluarga terdekat terlebih dahulu baru kemudian berkunjung ke rumah-rumah tetangga di kampung. Tradisi saling memaafkan di bulan syawal ini menjadi momen paling tepat, karena saat itu banyak yang pulang ke kampung halaman.
Selain berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan teman serta melepas kerinduan dengan suasana penuh kehangatan, tak lupa (bahkan setengah diwajibkan) untuk mengunjungi guru-guru. Baik itu guru ngaji atau guru sekolah sewaktu kecil dulu. Jangan dianggap sepele. Inilah yang menjadi lantaran lancarnya segala sesuatu saat di perantauan. Karena memang do’a serta ridho para guru-guru kita yang membuat semuanya menjadi mudah. Meskipun guru ngaji yang mengajar Iqro’ “abatasa” atau guru sekolah yang sabar mengejakan “abesede” dulu sewaktu kita masih kecil. Sekali lagi, jangan diremehkan. Justru dengan perantara beliau-beliau itulah kita menjadi seperti saat ini.
Ketika berkunjung ke rumah guru sekolah dan ngaji sewaktu kecil dahulu tak lupa untuk selalu meminta do’a restu dan nasehat-nasehat beliau. Inilah yang akan menjadi pemacu semangat kita ketika kembali ke perantauan. Yang bekerja, yang sekolah atau kuliah, maupun yang sudah menikah tentu akan sangat membutuhkan nasehat-nasehat beliau. Karena sejatinya guru adalah orang tua ke dua kita. Jika memang tidak mampu untuk berkunjung secara fisik, minimal kita berdo’a untuk beliau-beliau supaya selalu diberi kesehatan dan kesabaran bagi yang masih hidup dan yang sudah tiada pun selalu kita do’akan.
Memang benar dan sangat tepat bila ‘guru’ diistilahkan dengan seseorang yang selalu ‘digugu’ dan ‘ditiru’ oleh murid-muridnya. Selama yang itu benar dan tidak melenceng dari yang telah digariskan agama. Selain para guru, simbah-simbah pun memberikan kesan tersendiri jika kita berkunjung dan duduk, ngobrol bersama mereka. Sesuai dengan namanya, “mbah” yang berarti ‘tambah’, selalu memberikan tambahan bagi mereka yang berada di sekitarnya. Entah tambah berkah atau tambahnya ilmu. Seperti halnya yang telah saya rasakan. Ketika berkunjung ke rumah simbah atau orang yang dituakan, selalu saja mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah diketahui dan didengar. Itulah sisi lain dari yang namanya simbah.

Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal yaa kariim...
Semoga amal kita selalu diterima olehNya serta dimudahkan segala urusan. Amiin...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bina Karya, 02 Syawal 1438 H

26 Juni 2017 M

Senin, 19 Juni 2017

Jangan Lupa Ngaji



Adik adikku...
Bernyanyi lah....
Selagi engkau masih pantas tuk bernyanyi...

Adik adikku...
Belajarlah...
Karena saat ini kau memang saatnya belajar...
Agar kau merasakan manisnya buah perjuanganmu saat ini...

Adik adikku...
Mengajilah...
Untuk bekal di hari kemudian...
Karena hidup ini tak cukup sekedar hidup...
Hidup itu sejatinya untuk MATI..

Adik adikku...
Tahukah engkau, apa itu dunia?
Dunia ini ibarat sebuah jembatan...
Ia akan lapuk dan rusak pada waktunya...
Maka, sebelum ia lapuk dan rusak kau harus menggunakannya..
Iya, meenggunakan jembatan itu tuk menyeberang...
Menyeberang menuju kampung kekal abadi...
Kampung itu bernama AKHIRAT.

Adik adikku....
Bukan maksudku sok tahu atau sok bijak..
Karena aku pun belum pernah merasakan apa itu MATI dan pergi ke Desa AKHIRAT.
Lebih tepatnya, aku mengajak kalian bersama-sama tuk menyiapkan bekal..
Bekal esok untuk MATI dan pergi bersama-sama menuju kampung bernama  AKHIRAT.

Ini mungkin hanya sekedar pengingat sebelum tidurmu...
Atau kata-kata tak penting pengganggu masa bermainmu...
Tetapi ada baiknya kau tak acuhkan dan kau lakukan..
Selamat bermain, bernyanyi, tertawa, berlari, namun jangan lupa NGAJI....


Secuil pesan dari pulau seberang, Sumatera.
Tuk adik-adik ku di Jogja.... :)

Minggu, 18 Juni 2017

Ketika Cinta tak Terbalas




Sepercik harapan kutorehkan.
Selaksa naluriku bergeming.
Asapun terkoyakkan.
Menunggu penantian cinta yang tak usai.
Terjerembabku dalam kubangan rindu.
Menyendiri tak diharapkan.
Hati yang meronta dalam fatamorgana cinta.
Cinta kasih yang tak sampai.
Lantas kapankah cinta hadir mengetuk sanubari ini ?
Hanya aku dan Dialah yang tahu.
Betapa besarnya hamparan kerinduan cinta kasih tak terbalas.
Merintih tiada kusesali lagi

Oleh : Ikhsan Ardi (grup WhatsApp "Ayo Menulis")
Pekanbaru, 18 Juni 2017

Belum Seberapa




Ah, ini bukan apa-apa...

Tiga hari perjalananku menuju kampung halaman belum seberapa..

Bila dibanding dengan perjalanan dakwah para wali berhari-hari 

Menyusuri hutan belantara..

Lebih sulit, lebih pedih, bahkan lebih letih..

Itu semua demi tegak dan jayanya agama Allah di bumi nusantara...


Lelahku dalam berjalan itu terlalu biasa...

Bila dibandingkan dengan para kyai yabg berdakwah berhari-berhari tanpa kenal masa...

Mengislamkan yang masih awam dan menaubatkan manusia berlumur dosa..


Rasa lapar dan hausku ini hanya sebentar saja..

Dapat terobati dengan beberapa teguk es teh atau es jeruk di kala 
berbuka..

Sedang mereka (para wali dan kyai), lapar dan hauslah yang justru 
menjadi santapannya...

Aku menyeberangi lautan bisa beberapa jam saja..

Dengan kapal-kapal yang siap berlayar mengantar kapan saja...


Tetapi para wali dan kyai..

Dulu, mereka harus menempuh hitungan hari.. bahkan bulan..

Agar sampai di seberang pulau sana..

Hanya berbekal tekad dan ridho Ilahi Rabbi, mereka rela syahid di 

jalanNya..

ah, tentu ini belum seberapa..
Tiga hari saja...


#selatsunda,23rmdhn1438H
#salamsatujiwasantri
#sedang'otewe'sumatera

Rabu, 14 Juni 2017

Aku Ingin Berkelana




Aku ingin berkelana..

Bukan karena apa apa..

Hanya saja, aku ingin tahu..

Seluas apa tanah nusantara

Bahkan dunia..

Memuji besarnya ciptaan-Mu


Aku ingin berkelana..

Menghirup udara pada setiap tempat

di belahan bumi pertiwi

Menjejakkan kaki di setiap ranah yang berbeda

Mencium harumnya tanah dan air pusaka


Aku ingin berkelana...

Mengejar asa, menemukan cita

Bahkan tak dipungkiri pula, cinta

Yah, cinta. (Masih) cinta manusia biasa


Aku ingin berkelana...

Menemukan hal baru yang belum pernah ada dalam hidupku

Menyendiri, sembari memuji kebesaran ciptaan-Mu

Dalam relung kalbu, aku merindu.


Aku ingin berkelana...

Entah mengapa, hati serasa hampa

Teramat sesak di dada

Semoga Dia tunjukkan jalanNya

Sabtu, 10 Juni 2017

Setetes Asa dibalik Kata kata





Di sudut sebuah pesantren... Sepi. Sunyi. Seorang pemuda dengan membawa segenggam harapan, ia melangkah. Beranjak dari kamar usangnya. Menyambar sebuah tas dengan beberapa tumpuk buku di dalamnya. Menuruni tangga, menyusuri lorong-lorong kelam, berteman suara jangkrik dan cicak yang setia menemani malam.

Beberapa saat kemudian, sampailah ia di sebuah gubuk reyot pinggir sawah. Bersanding segelas kopi hitam yang semakin dingin. Sedingin malam itu. Cahaya rembulan serta kerlip bintang seakan berdoa. Berharap Tuhan selalu membimbing dan mengabulkan segala pintanya. Sang pujangga ilmu yang sedang menyusuri jejak-jejak, menuju singgasana dan tahta. Namun bukanlah yang disangka kebanyakan manusia.

*sang_jejak*

Rabu, 07 Juni 2017

Tentang Hujan




Rintik air menetas satu persatu, menguyur lalu membasahi tubuh bumi...
Semakin lama semakin deras.. menciptakan genangan yang mengganggu kaki kaki...

Saat ini...

Hujan. Ada hujan gerimis ada hujan deras... Hujan gerimis biasanya penuh kenangan. Hujan deras pun terkadang ada cerita tentang perjuangan menaklukkan rintangan.

Setiap hujan selalu memiliki makna dan cerita tersendiri. Terkadang hujan menciptakan kesyahduan dan kerinduan... namun tak jarang pula menyebakan malapetaka dan bencana.. Itu tak lain karena ulah manusia.

Banjir di sana-sini, longsor, serta jebolnya tanggul itu bukanlah salah hujan. Tapi manusia yang mungkin kurang peka dengan alam. Kurangnya kepedulian dengan lingkungan. Sampah sampah yang mencemari sungai, di got, atau di lorong-lorong sempit kota adalah salah satu penyebabnya.

Wahai manusia, bersahabatlah dengan hujan dan alam. Sehingga ketika hujan datang kita telah siap menerima keadaan....

Itu hanya sebatas pengamatan. Bila salah mungkin karena kebodohanku semata, hanya kurang "membaca". Bila benar itu mutlak karena pertolongan sang maha kuasa. Aku hanya sang hamba yang ingin mencoba....

Mencoba merasa dan merangkai kata...

@maskam_uinsuka03042017

Minggu, 04 Juni 2017

Sajak Pencari Cinta




Ingin kucari cinta namun yang kudapat justru gundah gulana...

Kucari seorang kasih tetapi perih yang yang kuraih...

Ku berharap sebuah sayang, namun justru diri seakan terbuang...

Mengapa gerangan??

Mungkin karena cinta, kasih dan sayang adalah kebutuhan seorang hamba...

Bukan untuk sang Pencipta...

Baiklah, jikalau begitu ku tak kan terlalu berharap pada cinta. Aku kan menggantungkan cita-cita dengan pena...

Dengan pena, ku kan melanglang buana mengelilingi dunia. Mencari yang lebih bermakna pemberian Sang Maha Kuasa...

LQ Jannaty, Jogja City 1438 H

Jumat, 02 Juni 2017

Kala ...



Kala kau duduk di sampingku..
Getaran itu semakin menjadi..
Menggebu, dalam kalbu...
Bungkam bibirku..
Kaku tubuhku..
Terpaku diriku..

Masih terpana mataku...
Menatap teduhnya parasmu...
Ingin ku berucap, namun bibir ini hanya membisu..
Mengapa malu saat ada temu, namun rindu melanda saat kau sudah berlalu..

Ah, kala itu..
Mungkin ini hanya soal waktu.

*JOGJA.12042017*
 
Copyright © 2013 PUJAKESUMA BLOGGER
Design by FBTemplates | BTT