Saat ini, problem gender di Indonesia masih
menjadi pembahasan dan kajian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti
dengan adanya polemik Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga belum lama ini
dipandang para aktivis gender seakan mendeskreditkan perempuan. Selain itu pula
RUU ini dianggap terlalu mengatur ranah privat warga negara, terutama yang berhubungan
dengan suami istri (Sumber: kompas.com).
Pasal-pasal yang dianggap ganjil lainnya
seperti kewajiban suami-istri untuk saling mencintai atau kewajiban istri untuk
mengurusi rumah tangga. Banyak orang yang menganggap RUU tersebut tidak akan
menjamin keluarga Indonesia menjadi lebih sejahtera dan bahagia. Namun mungkin
justru sebaliknya, malah membingungkan dan merepotkan. Inilah yang kemudian RUU
tersebut mendapat banyak pertentangan di kalangan aktivis.
Dari segi katanya, ada keistimewaan tersendiri pada kata perempuan ini. Mengapa tidak
menggunakan kata wanita atau cewek atau bahasa selainnya? Kata ‘perempuan’ jika
dipenggal akan menjadi tiga suku kata yakni per-empu-an. Kata ‘Per’ dan ‘an’
dalam tata bahasa Indonesia merupakan kata awalan dan akhiran. Yang mana ‘per’ dan
‘an’ menunjukkan proses pekerjaan. Seperti misal kata Penurunan Bendera artinya
sedang menurunkan bendera atau Pengembalian Hak berarti proses mengembalikan
sebuah hak, dan contoh-contoh lainnya.
Sedangkan kata ‘empu’ sendiri zaman
dulu sudah sangat lazim digunakan pada seseorang yang mampu menciptakan karya.
Semisal Empu Gandring sebagai ahli dalam menciptakan keris. Empu Tantular
dengan Kitab Sutasomanya yang kala itu sebagai kitab undang-undang Kerajaan
Majapahit. Jadi, ‘perempuan’ dapat disimpulkan sebagai seseorang yang memang
ahli dalam menciptakan.
Sehingga kemudian mengapa kata
perempuan ini diartikan sebagai ahli menciptakan atau membuat dikarenakan
perempuan inilah yang memiliki peran sebagai pembentuk kepribadian manusia
(baca; anak). Karena anak yang nantinya bakal menjadi generasi penerus orang
tua, keluarga bahkan bangsa. Maka wajar jika ada maqolah mengatakan Al ummu
madrasatul ulaa Lil Aulaad yang artinya ibu adalah madrasah atau sekolah
pertama bagi anak-anaknya.
Peran perempuan sebagai madrasah
atau pendidik pertama dalam lingkungan keluarga ini tentunya harus
diperhatikan. Jika dilihat dari proses panjang dari masa kehamilan hingga
kelahiran seorang anak tentu sangat panjang dan perjuangannya tidak mudah.
Setelah anak lahir dan beranjak menuju dewasa pun, orang tua (khususnya ibu)
memiliki peran utama. Meskipun saat ini dengan kemajuan dan kemodernan ada yang
bisa menggantikan perannya (misal asisten rumah tangga). Namun tetap saja peran
tersebut tidak bisa tergantikan sepenuhnya.
Sungguh sangat berbeda jika anak diasuh oleh
ibu kandungnya secara langsung dibandingkan dengan asisten . Dimulai dari
memberikan ASI sebagai makanan utamanya, kasih sayang serta ikatan batin antara
ibu dan anak hingga pendidikan semasa bayi. Tentu hasilnya berbeda. Terutama
dari segi karakter si anak.
Ibu Milenial
Istilah Milenial biasanya dilekatkan pada
mereka yang lahir dan berusia produktif pada zaman
penuh kemajuan seperti saat ini. Termasuk yang sudah berperan menjadi ibu. Ditandai dengan
meleknya mereka terhadap media dan sumber-sumber informasi yang semakin
membanjiri manusia milenial kini. Selain menjadi kesempatan, tak terlepas pula
hambatan dan tantangan yang menghadang.
Dari segi kesempatan, sangat mungkin jika para
ibu milenial ini mudah mengakses hal-hal baru dari teknologi setiap hari atau
bahkan setiap detik. Maraknya media sosial semakin memudahkan untuk mencari
berbagai referensi keilmuan. Media sosial pun menjadi kunci utama bagi para ibu
milenial ini. Seperti contoh jika ingin memasak sebuah menu masakan, tak perlu
repot menanyakan pada orang lain. Cukup klik dan mencarinya di Youtube atau
sumber internet lainnya.
Selain kesempatan, hambatan serta tantangan
yang ada juga menjadi masalah serius. Tantangan dalam menghadapi era teknologi
dan informasi yang semakin lama tak bisa dibendung ini bagi mereka yang kurang
selektif dalam memilih dan memilah sumber informasi dan kurang dalam penguasaan
media teknologi. Sebagai contoh, ibu milenial memiliki Smartphone dan
anak akan dengan mudahnya melihat aktivitas keseharian si ibu dengan smartphone
ini. Ini akan bahaya jika suatu waktu si anak ikut memegangnya.
Pengawasan ibu milenial ini selaku pendidik
utama tadi sangat dibutuhkan untuk pengawasan aktivitas anaknya dengan smartphone.
Pengawasan orang tua sangat dibutuhkan untuk memfilter hal-hal yang
cenderung negatif bagi si anak. Jangan sampai si anak mengakses hal-hal yang
kurang bermanfaat, bahkan malah membahayakan. Akan sangat lebih baik lagi jika
anak diarahkan meggunakan smartphone untuk mengakses tentang pendidikan.
Yang tentunya sesuai dengan jenjang usia dan pendidikan si anak.
Perempuan Milenial dan Ketahanan
Keluarga
Kokohnya sebuah negara
ditentukan oleh perempuannya. Jika perempuan sebagai pendidik generasi bangsa
(baca; anak dalam keluarga) itu kokoh dan mampu, berarti suatu negara akan
kokoh pula tiang penyangganya. Lantas di mana letak milenialisme seorang perempuan sebagai ibu dalam lingkungan keluarganya dapat memperkuat
ketahanan keluarga?
Seperti fakta yang ada,
bahwa peran seorang perempuan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tak terlepas
perannya di dalam lingkungan keluarganya sendiri. Kuatnya peran ibu dalam
keluarga ini akan membawa anak
untuk memiliki karakter yang kuat pula. Sehingga diharapkan
jika semua keluarga dalam satu negara dapat memaksimalkan peran mereka mendidik
anak, maka diharapkan dapat membawa
menuju ke arah kokohnya ketahanan dalam keluarganya sendiri. Bahkan bisa
saja pada aspek ketahanan nasional.
Karena sejatinya ketahanan nasional bangsa berawal
dari ketahanan di dalam keluarga. Sebaliknya, jika keluarga
di suatu negara banyak terdapat kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maka mustahil suatu bangsa akan maju. Bayangkan saja, bagaimana akan
memperkokoh tiang sebuah bangsa, jika menciptakan tiang-tiang keluarga yang kokoh
dan baik saja belum mampu.
Inilah kemudian yang menjadi kegelisahan
bersama. Bahwa di satu sisi ibu milenial memiliki andil besar dalam keluarga,
namun di sisi lain pula dapat membawa keluarga (khususnya anak) dalam jurang ‘malapetaka’
jika tidak tepat dalam memainkan peran sebagai seorang ibu rumah tangga.
Terlebih dalam situasi
pandemi saat ini yang semakin mempersulit keadaan. Baik segi ekonomi maupun
psikologi dalam keluarga. Ini yang menjadi tugas bersama negara dan semua elemen
masyarakat untuk saling bahu membahu menyelesaikan permasalahan saat ini.
Semoga segala
kesulitan dan cobaan bangsa dapat kita lalui
bersama serta senantiasa diberi kesehatan dan kelancaran olehNya. Aamiin.